Sudah lebih sepekan Kirei tidak melihat kehadiran ibu dan mertuanya. Obat anti mual yang diberikan Dokter Lova membuat kondisinya lebih baik. Mual dan muntah mulai berkurang. Makanan dengan aneka bumbu yang menyengat sudah mulai bisa dinikmati sedikit demi sedikit. Aktifitas ke kantor mulai normal kembali meski beberapa pekerjaan ia limpahkan pada partner kepercayaannya demi menjaga agar tubuh dan pikirannya tidak terlalu stress. Jadi, tanpa kehadiran dua perempuan hebatnya, ia bisa melalui semua dengan lancar dan baik.
Sore hari sepulang dari kantor, Kirei mendapati mobil Attala sudah terparkir di halaman. Pintu ruang tamu terbuka lebar. Sebuah koper berdiri di teras dan satu travel bag tergeletak di sampingnya. Kirei meminta Martono untuk menghentikan mobilnya dan segera turun untuk mencari Attala. Setelah mengucapkan salam, ia melihat Samirah tergopoh-gopoh berlari dari dapur untuk menyambutnya.
“Samirah, kamu melihat Bapak?” Kirei memandangi pembantu yang seusia dengan dirinya itu. Meskipun, penampilannya sederhana. Ia sebenarnya cantik jika tubuhnya dirawat dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ada di kamar, Bu.” Samirah menjawab dengan sopan.
Kirei berlari ke kamar tanpa mengetuk pintu. Ia langsung membuka pintu dan melihat suaminya sedang mematut diri di cermin.
“Mas, tolong jelaskan mengapa koper dan travel bag Mas ada di pintu depan?” Kirei terengah-engah. Selain karena tadi tergesa-gesa, emosinya juga melonjak tak terkendali. “Bukankah tidak ada pembicaraan apa pun sebelumnya? Kenapa, Mas? Ada apa?”
Attala terkejut melihat istrinya, tiba-tiba datang dan berteriak padanya. Tetapi, dia memaklumi karena istrinya baru saja pulang kerja dalam keadaan yang lelah. Ditambah kehamilannya yang membuat dia mudah marah.
“Kirei sayang, duduk dulu, ya. Mas jelaskan semuanya.” Attala memegang pundak Kirei yang langsung ditepis istrinya itu.
“Aku tidak butuh penjelasan, Mas. Kamu hanya perlu menjawab, kenapa ada koper dan travel bag di teras.” Wajah Kirei memerah.
Attala menatap istrinya. Baru kali ini, ia melihat kemarahan yang meluap-luap pada Kirei. Selama dua bulan menikah Kirei adalah sosok yang begitu patuh, tidak banyak meminta penjelasan tentang keputusan yang dibuatnya, terutama soal pekerjaan kantor. Jika mereka makan di luar pun Kirei lebih suka mengikuti menu yang dipesannya. Meskipun, sikap manja istrinya itu, kadang membuatnya sungkan saat berada di tempat umum, tapi itu bukanlah hal yang sangat menggangu. Memang begitulah cara Kirei memperlihatkan perhatian dan kasih sayang padanya.
Segera dia memeluk Kirei. Perempuan bertubuh ramping itu terisak di dadanya. Attala menunggu sampai tangis istrinya reda, lalu didudukkan di tepi ranjang. Digenggamnya tangan sang istri, ditatapnya mata yang berair itu dengan teduh.
“Aku minta maaf, sayang. Tadi aku berniat untuk menjemputmu dan mengajakmu makan malam di luar untuk menjelaskan semuanya. Namun ternyata, kamu pulang lebih cepat tanpa mengabari Mas.” Attala bergegas mengusap air mata yang tersisa di mata istrinya.
Attala menjelaskan pada istrinya bahwa sore ini ia harus bertolak ke Korea. Ada undangan mendadak dari kampusnya dahulu untuk mengisi seminar di sana. Tidak lama, hanya satu pekan karena setelah seminar ada kegiatan reuni antar angkatan yang hanya dilaksanakan lima tahun sekali. Kebetulan ini reuni pertama setelah pandemi Covid-19 melanda dunia dan menyebabkan acara reuni terpaksa dilakukan secara online.
“Tapi, kenapa harus mendadak, Mas?” Kirei merasakan sesak yang begitu menyiksa. Tubuhnya masih lemah. Mual dan muntah yang menyerang belum lagi mereda sepenuhnya. Fisiknya belum sepenuhnya pulih. Hanya karena semangatlah Kirei tidak tumbang dengan kehamilan yang membuat fisik dan emosinya lelah luar biasa.
“Sebenarnya ini sudah diagendakan sepekan lalu, Sayang. Hanya saja Mas tunda karena kondisimu kemarin sangat lemah. Akhirnya kampus mengundurkan kegiatan itu pekan ini. Jadi, Mas tidak bisa menolak lagi. Masa, hanya karena menunggu Mas, acara kampus harus batal?” Attala mengelus pipi Kirei perlahan.
“Tapi, Mas….” Kirei mencoba mencari alasan agar Attala tidak pergi. Tapi apalah daya, dia tidak ingin mengekang suaminya untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan yang digelutinya.
“Tidak apa-apa, sayang. Mas janji selesai semua kegiatan nanti Mas langsung pulang. Ada Mbak Samirah yang menemani kamu sekarang, kan. Nanti aku telpon Mama dan Ibu supaya sering mengunjungimu. Oke, Cantikku.” Attala memeluk istrinya. Setelah itu, ia segera turun menghampiri Martono. Sopir pribadi bapak mertuanya yang kini menjadi sopir pribadi Kirei karena mertuanya ingin Kirei tidak boleh lagi menyetir mobil sendiri semenjak dinyatakan hamil.
Melihat kepergian Attala, Kirei merasa ada getaran aneh yang menelusup hatinya. Entah apa yang dirasakannya kini. Ia tidak paham.
Samirah membantu Attala membawakan barang-barang dibantu Martono. Pertama kali, melihat majikannya itu, ia terpesona. Bagaimana tidak, Oppa Korea yang sering ditontonnya di televisi kini menjelma secara nyata di hadapannya. Sampai-sampai, Kirei menegur dirinya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya