![Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)](https://imagedelivery.net/jEp9rSDjgP2SWeFuk4s97g/www.redaksiku.com/2024/11/IMG-20240813-WA0016.jpg/w=300,h=300,fit=crop)
Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Cahaya matahari pagi, menyinari kamar Kirei melalui celah-celah jendela. Ia meminta pada Sumirah untuk membuka gorden saja. Ia melihat jam di meja samping ranjang yang menunjukkan jam 8 pagi. Setelah kepergian Attala kemarin malam, ia langsung mendekam dalam di kamar. Ponsel sengaja dimatikan sebagai tanda protes pada suaminya. Tak hanya itu juga, mual dan muntah membuatnya lemas. Sehingga ia tertidur dengan lelap. Ketika akan menguap, tangan kanannya menutup mulut. Badan juga digerakkan untuk merenggangkan otot. Penasaran, apa sang suami menghubunginya atau tidak? Ponsel pun dinyalakan lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumahnya memang sudah terpasang internet jadi Kirei tak usah repot menyalakan data. Sekali ponselnya nyala, internet langsung tersambung. Pesan masuk dari aplikasi hijau datang beruntun. Salah satunya dari Attala. Ada panggilan masuk juga dari Hanny. Orang kepercayaan yang ia tunjuk untuk menangani semua masalah di kantornya, selama dirinya hamil. Ia hendak menelepon balik Hanny, tetapi orang yang akan dihubungi malah menelepon.
“Ya, Han, ada apa?” Kirei bertanya dengan nada malas.
“Akhirnya, kamu angkat juga teleponku.” Bukannya menjawab pertanyaan Kirei, Hanny malah mengucapkan rasa syukur. “Ki, gawat. Kamu bisa datang ke kantor sekarang juga?”
“Ada apa memangnya, Han. Bukannya, semua masalah kantor, aku serahkan padamu?” Kirei benar-benar tidak mau pergi ke mana-mana. Ia ingin rebahan dan merefresh otaknya.
“Masalahnya, ini berhubungan denganmu, Ki. Aku pusing menanganinya. Ini klien marah-marah dari tadi. Ia minta pertanggungjawaban atas perjanjian yang sudah dibuat olehnya dan pihak WO kita. Surat perjanjiannya juga ada, tetapi aku enggak tahu kamu nyimpan suratnya di mana? Dari tadi, aku neleponin kamu terus. Eh, enggak aktif. Telepon rumah juga sama, enggak ada yang angkat.” Hanny menumpahkan kekesalannya.
“Padahal ada Mbak Samirah, lho. Dia ke mana, ya?”
“Aku mana tahu, Ki. Dia, kan, pembantumu. Pokoknya, kamu cepetan ke sini!” Hanny menekan nada bicaranya.
“Bisa minta Klien datang ke kantor lagi agak siangan? Aku harus cari dulu surat perjanjiannya, Han. Aku lupa nyimpen.” Kirei mencoba mengingat-ingat di mana surat perjanjian itu di simpan.
“Kamu kebangetan banget, sih. Surat penting kayak gitu sampe lupa nyimpen. Tadi juga, aku udah minta balik lagi ke sini nanti, tapi kliennya enggak mau. Dia mau nunggu sampai kamu datang, Ki.” Hanny gemas dengan temannya itu, sifat cerobohnya tidak juga berubah. Meskipun, sudah menikah.
Nama Naziha, terlintas dalam ingatan Kirei. “Aku coba telepon Naziha. Biasanya, kalau surat penting mengenai kantor, Naziha yang pegang. Semoga dia enggak sibuk.”
“Itu urusan kamu. Pokoknya, aku pengen kamu cepetan datang ke sini. Klien satu ini, bikin aku darah tinggi,” omel Hanny.
Sambungan telepon pun terputus. Kirei bangkit dari kasur, lalu bergegas masuk ke kamar mandinya untuk membersihkan diri.
Hanya butuh waktu sepuluh menit saja, Kirei menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi. Setelah itu, ia berjalan menuju ruangan yang bersebelahan dengan kamar tidur. Ruangan khusus ganti baju dan menyimpan semua baju dan pernak-pernik lainnya, seperti sepatu, sendal, dan tas. Attala memang sengaja membuat ruangan khusus karena pakaian dan barang-barang milik mereka akan banyak menyita tempat. Terbukti, lemari sebelah kanan dan tengah didominasi barang miliknya, sedangkan suaminya hanya menggunakan lemari sebelah kiri saja. Di tengah terpasang kaca yang bisa memperlihatkan seluruh bagian badan.
Kali ini, Kirei memilih dress panjang selutut berwarna hitam dengan corak bunga-bunga melati putih yang longgar. Perutnya memang belum terlihat. Namun, ia ingin membiasakan diri menggenakan pakaian longgar. Karena itu juga, ia memilih sepatu sandal tidak berhak berwarna cream agar ia bisa berjalan dengan leluasa. Tas hitam keluaran terbaru berbentuk persegi panjang dengan ukuran sedang serta bertalikan rantai emas, hadiah pernikahan dari Tante Grace menjadi pilihannya.
Kirei mematut bayangan dirinya di cermin. Merasa penampilannya sudah pas, ia kembali ke kamar, lalu duduk di meja rias untuk berdandan.
“Bu! Ibu sudah bangun?” Samirah memanggil Kirei sambil mengetuk pintu.
“Sudah. Masuk saja, pintunya tidak dikunci,” ujar Kirei tetap fokus memoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.
Samirah membuka pintu kamar dengan perlahan. “Bu, Bapak tadi telepon. Kenapa ponsel Ibu tidak bisa dihubungi?”
“Oh, Bapak nelepon?” Kirei mengambil ponsel yang ada di kasur. Ya, Attala menelpon dirinya sampai 30 kali sejak kemarin malam. “Nanti, saya akan menghubungi Bapak? Oh, iya, kamu ke mana saja tadi? Temanku menelepon ke rumah, tapi tidak ada yang mengangkat?”
“Tadi, saya ke pasar dulu, Bu. Beli beberapa bumbu yang sudah habis,” sahut Samirah sambil menunduk.
“Uang belanjanya dari siapa? Pake uang Mbak dulu?” Kirei menatap wajahnya di cermin. Merasa puas dengan hasil riasannya, lalu ia menoleh ke arah Samirah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya