“Sebelum berangkat, Bapak memberi uang untuk belanja, Bu,” jawab Samirah dengan hati-hati. Karena ia tahu, hormon Ibu hamil itu naik dan turun. Begitu juga dengan emosinya.
Kirei terdiam sambil berpikir. Tumben, Attala tidak memberitahunya tentang jumlah uang belanja yang diberikan pada Samirah. Pikirannya, mulai bercabang ke mana-mana.
Merasa urusannya dengan sang majikan sudah selesai, Samirah minta izin untuk kembali mengerjakan pekerjaan yang tertunda tadi, sekalian membuatkan sarapan untuk majikannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kirei tak ingin ambil pusing. Masalah Attala, ia kesampingkan dulu. Ia harus fokus pada masalah klien yang entah siapa namanya? Bodohnya, ia malah lupa menanyakan nama klien itu pada Hanny. Ia menanyakan nama klien yang ngomel-ngomel dengan mengirimkan pesan singkat.
Penampilan Kirei sudah terlihat sempurna. Kemudian, ia memasukkan dompet, tisu, charger dan obat anti mual ke tas dan menyelempangkannya. Ponselnya bergetar, ada satu pesan balasan dari Hanny mengenai klien yang bernama Aura Rahayu. Ia berjalan menuju ruang kerja, kebetulan ruang kerjanya dan Attala ada dalam satu ruangan. Hanya diberi batasan dengan dua sofa dan satu meja di tengah. Surat perjanjian itu, mungkin ada di sana. Sebelum ke ruang kerja, ia menghampiri Sumirah untuk membungkukkan 2 roti panggang isi selai strawberry dan menyuruh Pak Martono menyiapkan mobil untuk pergi ke kantor.
Kirei sibuk membuka file dan lemari yang ada di ruang kerja sambil berusaha menghubungi Naziha yang dari tadi belum juga mengangkat teleponnya. Wajar saja, sahabatnya itu baru satu Minggu melahirkan. Sahabatnya itu, harus beradaptasi dengan kehadiran bayi mungilnya, yang pasti akan mengubah jam tidur juga. Sebenarnya, ia juga merasa bersalah karena belum menengok si jabang bayi.
“Alhamdulillah, Ziha. Akhirnya, diangkat juga.” Kirei bahagia ketika terdengar suara Naziha dari ponselnya.
“Maaf, baru diangkat, Ki. Aku ngurusin bayiku dulu, tadi,” jawab Nazihan. Suaranya, terdengar lemah, mungkin ia kecapean.
“Aduh, harusnya aku yang minta maaf, Ziha. Aku menjenguk bayimu.” Kirei merasa menjadi sahabat paling buruk sedunia. Di saat butuh bantuan, ia baru ingat pada sang sahabat. Eh, giliran sahabatnya melahirkan, ia malah enggak nyempetin datang.
“Santai aja, Ki, enggak usah merasa bersalah kayak gitu. Kamu juga lagi hamil, kan, pasti berat banget harus ngalamin morning sick. Ngomong-ngomong, ada apa kamu nelepon, sepertinya ada hal penting yang ingin kamu tanyakan?” Naziha mengalihkan pembicaraan.
“Gini. Apa Ziha nyimpen surat perjanjian Aura Rahayu dan WO-ku?”
“Ada kayaknya, Ki. Bentar, aku cari dulu.”
“Kalau ada, tolong foto dan kirim ke aku, ya. Aku cari-cari di sini, enggak ada.”
“Siap, Ki. Aku tutup dulu, teleponnya, ya.”
Setelah mengucapkan salam, sambungan telepon Kirei dan Naziha terputus. Kirei berjalan cepat ke luar rumah. Di ambang pintu depan rumah, Samirah berdiri menunggu dirinya untuk memberikan bekal. Bekal makanan sudah beralih ke tangannya. Martono juga sudah membukakan pintu untuknya. Ia pun segera naik. Begitu juga dengan Martono yang bergegas duduk di balik kemudi.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Martono sudah diwanti-wanti agar jangan mengemudi dengan kecepatan penuh. Kirei duduk di bangku belakang sambil sesekali mengecek ponsel. Tak lama, ada satu pesan masuk dari Naziha yang mengirimkan foto surat perjanjian yang membuat hidupnya hari ini sibuk.
“Ya, Tuhan.” Kirei spontan berteriak setelah membaca isi perjanjian itu. Bahkan, Martono pun ikut kaget dan menatap majikannya dari kaca spion depan mobil.
Halaman : 1 2