(NOVEL) Just One More Night
“Bunyi, dong! Bunyi, dong, please! Masa diem aja, sih, dari tadi?”
Sudah hampir seharian ini aku melotot pada ponsel di meja sambil memegangi kepala kayak kepalaku bakal jatuh kalau enggak dipegangi begitu.
Memang, sih, secara teknis aku bakal mati kalau enggak dapat pekerjaan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Uang di dompetku sudah cuma tinggal lima ratus ribu doang dan rekeningku kosong melompong. Enggak kosong-kosong amat, sih. Ada seratus ribu dana mati yang enggak bisa diambil lagi.
Sejak pergi dari rumah, aku harus mengurus semua sendiri, termasuk soal keuangan. Dalam hal ini aku benar-benar salah perhitungan. Bego banget pokoknya!
Kukira, kebutuhan dasar itu tuh cuma makan dan bayar rekening ponsel, air, dan listrik di tempat kos ini saja. Ternyata, masih ada banyak banget kebutuhan lainnya. Banyaknya tuh di atasnya banyak lagi.
Aku kalap pada hari pertama pergi dari rumah. Kuhabiskan semua uangku di kasir swalayan buat beli makanan ringan yang kusuka dan kebutuhan kamar mandi. Enggak tahu kenapa, ya, sejak tinggal di kamar kos ini aku tuh jadi kayak lapar terus. Biasanya, aku bisa nonton film tanpa makan sampai tuh film habis. Init uh aku kayak kudu makan sesuatu gitu. Baru selesai makan, eh, perutku sudah keroncongan lagi.
Gimana aku enggak stres coba?
Lagian, kesalahan perhitungan ini tuh karena aku ditikung sebenarnya, di luar rencana banget.
Kupikir, aku tuh bakal langsung diterima sebagai teller di bank tempat Gemma bekerja. Kan dia sudah janji. Ternyata, sainganku malah dapat kekuatan orang dalam yang lebih kuat. Aku gagal total pada seleksi pertama sekalipun memiliki kualifikasi yang lebih pas untuk mengisi bagian itu.
Sekarang, aku harus terima nasib hidup di bawah garis kemiskinan.
“Dah, jual diri aja,” kata Rika di video call yang sama sekali enggak niat kasih solusi. “Masih virgin kan lu. Gampang itu, sih. Bentar juga dapet lu kalau emang niat. Entar gue bantu.”
Si sugar baby itu memang dari dulu sibuk banget merayu aku biar mau jual diri ke om-om bareng dia.
“Lu ngomong gitu lagi ke Sophie, gue jejelin perkakas dapur, Rik,” omel Sandri keras, si cewek paling waras di antara kami. Makanya sekarang dia yang duluan nikah. Cowok sinting mana pun bakalan milih cewek kayak dia buat dinikahi dan untungnya suaminya si Sandri enggak sinting, malah baik banget orangnya.
“Sori. Sori. Gue kan cuma kasih solusi. Kalau dia enggak mau ya udah. Enggak maksa ini kok gue. Tapi, kalau si Sophie mau, ya, mau gimana. Kan gue enggak bisa ngelarang. Ya enggak, Sop?”
Itulah alasan aku langsung apply semua tawaran kerja yang kulihat di grup pencari kerja di FB. Aku enggak mau jual diri pokoknya. Cuma, enggak tahu juga kalau entar hidupku sudah mentok. Bakal tergoda juga mungkin aku nantinya.
Pas sudah mengisi surat lamaran, barulah aku sadar kalau aku tuh enggak bisa apa-apa. Aku cuma mahasiswa ekonomi jurusan akuntansi yang kerjanya kuliah-pulang-kuliah-pulang alias mahasiswa kupu-kupu. Yang kutahu soal kerja tuh cuma pakai baju rapi berkerah kayak kuliah, pakai sepatu, terus nurut aja gitu apa kata atasan. Pokoknya selama atasan enggak minta yang jorok-jorok, ya ikut aja. Gitu kata teman-temanku.
Sekarang aku baru nyesel banget, sumpah, enggak ikut organisasi atau program magang di sekolah dulu. Teman-temanku semua sudah kerja. Aku sendiri kayak orang sinting berharap dapat sedekah uang kaget entah dari siapa.
Kayaknya memang cuma orang gila atau orang yang benar-benar enggak bisa mikir yang mau nerima aku kerja di perusahaannya.
Berapa banyak orang menganggur di negeri ini? Berapa orang yang melamar pekerjaan itu? Apa alasan mereka menerimaku?
“Lu emang goblok parah, Sop. Pantesan Karena ngusir lu dari rumah. Jangan-jangan selama ini memang dia yang benar. Lu yang salah, Sop. Lu yang memang enggak bisa dididik sama sekali jadi anak,” kataku pada diri sendiri.
Aku melihat lagi layar ponsel dan kusentuh-sentuh layarnya sampai menemukan deretan foto-foto masa bahagia dalam hidupku, waktu aku sama sekali enggak mikir soal nyari duit, waktu aku bisa ngabisin duit berapa pun yang kumau, waktu yang kulakukan cuma makan, minum, berak, dan tidur doang, waktu hidupku semudah kedip.
Semua itu kayaknya enggak bakalan bisa kudapatkan lagi.
“Karen goblok! Pelacur! Murahan!”
Kubenturkan kepala ke meja kayu tipis itu beberapa kali.
Tiga benturan pertama karena aku sadar akan kebodohanku dan berharap dimaafkan. Benturan-benturan berikutnya karena aku berharap tobatku diterima, lalu mendapat keajaiban.
Orang bilang begitu, kan? Kalau jadi anak saleha bakal dapat rezeki nomplok, kan?
Sayang, aku bukan anak saleha. Aku enggak bakalan dapat rezeki.
Tuhan aja kayaknya males sama aku.
***
Tulisan lain dari Honey Dee klik di sini.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel