Novel: Loving You (Part 1)
“Halo! Ada apa, Sayang?” Fadli menyapa istrinya yang meneleponnya di tengah jam kerja. Tidak biasanya istrinya itu menelepon saat jam kerja. Faik hanya akan menelepon saat jam istirahat. Itu pun sangat jarang sekali. Biasanya, mereka lebih suka berkomunikasi melalui pesan instan saat bekerja.
“Sayang, cepat pulang! Anakmu sepertinya sudah mau lahir.” Tanpa basa-basi dan menjawab sapaan suaminya dulu, Faik langsung mengemukakan tujuannya menelepon.
“Eh? Bukannya hari prediksi lahirnya masih lebih dari satu minggu lagi?” Fadli sangat terkejut mendengar ucapan istrinya itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jangan tanya aku. Aku sudah hubungi Mira. Dia sudah dalam perjalanan ke sini.” Faik berusaha menjaga dirinya agar tetap tenang. Ia juga mengatur napasnya karena ia merasakan kontraksi lagi.
“Ok. Aku akan pulang.” jawab Fadli singkat. Ia langsung membereskan barang-barangnya. Ia juga menulis pesan pendek ke atasannya untuk memberitahukan perihal kepergiannya secara tiba-tiba melalui aplikasi kantornya.
Biasanya, atasannya tidak pernah mempermasalahkan karyawannya jika harus izin mendadak. Atasannya itu hanya berharap agar para karyawannya memberikan pesan melalui aplikasi kantor yang ada. Kali ini, Fadli berharap atasannya juga akan mengerti tentang kondisi mendesaknya sekarang.
Pikirannya benar-benar kalut. Apalagi tadi ia juga mendengar napas pendek-pendek Faik. Ia dan Faik sudah beberapa kali berdiskusi tentang proses kelahiran bayi. Ia tahu bahwa napas pendek-pendek yang dilakukan istrinya itu merupakan tanda bahwa istrinya sedang mengalami kontraksi.
Di perjalanan pulang, ia menghubungi Mira, dokter kandungan sekaligus teman dekat Faik sewaktu kuliah. Sebenarnya, Mira sedang libur, tapi Fadli sangat bersyukur sekali karena Mira membalas pesannya dengan mengatakan bahwa ia juga sedang dalam perjalanan menuju ke rumah mereka, seperti kata Faik.
Di perjalanan, pikiran Fadli sudah tidak karuan. Jalanan sangat padat seperti biasanya. Namun kali ini, Fadli merasa sangat putus asa. Ia ingin segera berada di samping istrinya yang pasti sedang dalam kondisi kesakitan karena kontraksi.
‘Apa yang dilakukan oleh orang-orang ini? Jam makan siang sudah lewat sekitar sejam yang lalu. Tidak mungkin mereka semua harus pulang ke rumah masing-masing karena istri-istri mereka akan melahirkan semua, bukan?’ Fadli membatin dalam hati.
Satu jam perjalanan terasa seperti selamanya. Pikiran Fadli sudah terlalu kacau. Sebenarnya, ia dan istrinya berencana untuk melahirkan di rumah sakit tempat Mira bekerja. Anak mereka diperkirakan baru akan lahir sekitar dua minggu lagi, tepat saat cuti Mira berakhir. Akan tetapi, mengapa istrinya berkata kalau anak mereka sudah akan lahir sekarang?
Fadli mencoba menenangkan dirinya, ‘Apakah mungkin Faik hanya mengalami kontraksi palsu? Tapi, Faik sendiri yang mengatakan kalau kontraksi palsu itu biasanya tidak teratur datangnya. Hal ini juga yang dikatakan Mira. Itu berarti Faik sudah tahu betul bagaimana kontraksi palsu itu. Tadi Faik juga sudah menelepon Mira. Kalau Mira sampai langsung ke sana, itu berarti kondisinya genting.’
Lampu merah menyala dan Fadli menghentikan mobilnya. Ia mengusap wajahnya dengan keras sambil menggeram dan meremas setir.
‘Tenang, Fadli. Tenang. Kamu harus tenang. Sekarang, tugasmu adalah sampai di rumah dengan selamat supaya bisa menemani istrimu.’ Fadli menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut. Ia lalu mengulanginya beberapa kali sampai akhirnya ia menjadi lebih tenang.
Fadli akhirnya sampai di rumahnya setelah satu jam. Tepat saat ia keluar dari mobilnya, ia melihat mobil Mira berhenti di depan pagar rumahnya juga. Ia pun mengajak Mira untuk masuk bersama.
Ia membuka pagar rumahnya dan mendapati halaman rumahnya sepi. Pintu besar geser yang menghadap ke halaman pun tertutup semua.
Fadli dan Mira langsung menuju pintu rumah. Begitu membuka pintu rumahnya, mereka berdua dikagetkan dengan suara tangis bayi.
Fadli langsung berlari, diikuti oleh Mira. Suara itu berasal dari kamar mandi tamu yang memang letaknya di lantai satu. Begitu sampai di sana, ia melihat istrinya sudah duduk di lantai kamar mandi dengan bersimbah darah.
Mengetahui Fadli sudah datang, Faik langsung tersenyum padanya sambil berusaha membungkus bayi yang baru saja ia lahirkan dengan handuk bersih yang sudah dipersiapkannya tadi.
~Bersambung~
Cerita selanjutnya bisa dibaca di sini.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel