Bu Atikah merasa sangat bahagia sekali dengan kedatangan cucunya, apalagi ketika ia tahu bahwa cucunya akan tinggal di rumahnya selama seminggu. Pada hari yang disepakati, Bu Atikah tidak pergi ke warung dan menugaskan semua urusan rumah makannya pada orang kepercayaannya.
Ia sendiri sedari pagi sudah mondar-mandir di rumahnya. Berkali-kali ia melihat ke pagar untuk mengecek apakah cucunya sudah datang. Hatinya berbunga-bunga karena ini merupakan kali pertama cucunya akan tinggal di rumahnya.
Begitu mobil Fadli tiba, Bu Atikah langsung menyambut cucunya itu dan menggendongnya. Ia juga terus berlama-lama menggendong cucu satu-satunya itu walaupun Faik sudah mengatakan bahwa beliau tidak perlu melakukan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ihsan sudah berumur lima bulan dan ia sekarang sedang senang sekali berguling ke sana dan ke mari. Ia juga sudah mulai berlatih mengangkat badannya saat sedang tengkurap. Seringkali juga, Ihsan meminta untuk didudukkan sambil dipangku oleh Faik. Berbagai macam stimulasi yang diberikan oleh Faik benar-benar membuat Ihsan bisa berkembang begitu pesat.
Ihsan menggeliat di gendongan Bu Atikah. Ia terus menggeliat-geliat sampai Bu Atikah merasa kewalahan untuk mempertahankan gendongannya.
“Sepertinya Ihsan ingin turun, Ma. Dia biasanya memang suka berguling ke sana dan ke mari saat di rumah,” kata Faik sambil membereskan piring-piring bekas makannya.
“Mama ini kasihan sama Ihsan. Dia masih bayi tapi sudah dibiarkan berguling di lantai ke sana-sini sendirian. Mama tahu Ihsan sudah ingin bergerak mengikuti orang dewasa. Oleh sabab itu, Ihsan sekarang Mama gendong supaya bisa mengikuti orang dewasa dengan leluasa.” Bu Atikah masih berusaha membetulkan gendongannya.
Bu Atikah baru menyerah setelah akhirnya Ihsan mulai merengek. Faik memindahkan beberapa kursi di ruang tengah ke pinggir. Ia kemudian menggelar sebuah karpet agar Ihsan bisa berguling-guling dengan leluasa di ruang tengah yang terbuka dan menghadap langsung ke taman.
Begitu Bu Atikah menaruh Ihsan di karpet, ia langsung berguling-guling di lantai dengan lincah. Hati Bu Atikah merasa hangat.
Tak terasa setitik air mata lolos dari matanya dan meluncur turun. Ia begitu terharu melihat cucunya yang sudah bisa berguling-guling seperti itu. Ia juga jadi mengingat kembali masa ketika Fadli masih bayi.
Ihsan terus berguling-guling sampai ujung karpet habis dan ia menyentuh lantai. Bu Atikah langsung tergopoh-gopoh mengangkat Ihsan dan mengembalikannya ke tengah karpet. Begitu menyentuh karpet lagi, Ihsan pun langsung berguling-guling lagi.
“Kalau dia suka berguling-guling begini, kalian biasanya menaruh Ihsan di mana? Rumah kalian kan tidak lebar.” Bu Atikah untuk ke sekian kalinya memindahkan Ihsan dari lantai kembali ke tengah karpet. Ia menolak bantuan Faik dan Fadli untuk memindahkan Ihsan.
“Kami memindahkan meja dan kursi makan kami ke pinggir ruangan, Ma. Jadi Ihsan bisa leluasa beguling-guling di sana,” jawab Fadli.
“Oh, begitu. Tapi, pintu kalian yang menghadap taman itu kan lebar-lebar. Apa tidak bahaya kalau tiba-tiba Ihsan berguling sampai taman? Kalau ditutup, rumah kalian jadi pengap. Kalian juga punya kolam. Faik juga tidak mungkin selalu bisa mengawasi Ihsan setiap saat, kan? Kalau sewaktu Faik ke kamar mandi, bagaimana Ihsan?” Bu Atikah menarik napas dalam. “Mama tahu, Faik akan selalu berusaha untuk menjaga Ihsan sebaik-baiknya. Tapi, kalau Ihsan ternyata seaktif ini dan Faik sendirian yang menjaganya, apakah bisa? Apa tidak lebih baik kalau Ihsan dan Faik pindah ke sini saja dulu. Di sini, Mama bisa ikut menjaga Ihsan juga. Rumah makan Mama juga sudah perlu selalu diawasi setiap saat.”
Faik tersenyum mendengar tawaran ibu mertuanya. Ia memang sedikit kewalahan mengurus Ihsan sejak Ihsan bisa bergerak ke sana-sini sendiri. Namun, ia juga tahu bahwa perbedaan pengasuhan yang diterapkan untuk Ihsan olehnya dan ibu mertuanya bisa menjadi bahan pertengkaran antar mereka berdua.
Ia masih ingat betul ketika ibu mertuanya pernah berkunjung dan menginap di rumahnya selama tiga hari. Mulai dari masalah minyak telon, bedak, baju bayi, cara menggendong, dan berbagai macam hal lainnya membuat Faik lumayan pusing. Ia menyadari betul bahwa yang dilakukan oleh Bu Atikah itu adalah karena ia sangat menyayangi cucu pertamanya, namun, Faik juga sadar bahwa hal tersebut cukup menguji kesabarannya.
Itulah sebabnya, ia lebih banyak memilih untuk mengalah kala itu. Namun, ia tidak yakin bisa terus mengendalikan dirinya untuk tidak marah dan mengalah saat harus tinggal seatap dengan ibu mertuanya dalam waktu yang lama.
~Bersambung~