“Kalau kami harus pindah ke rumah Mama, nanti aku yang kesulitan, Ma. Jarak rumah Mama dan kantorku kan jauh sekali.” Fadli akhirnya menjadi orang pertama yang menolak usulan ibunya. “Lagi pula, pintu yang menghubungkan ruang makan dan kolam juga jarang dibuka. Lalu, dari ruang makan ke taman itu lumayan jauh, Ma. Masih ada ruang tamu yang membatasi.”
“Siapa yang menyuruh kamu untuk pindah, Nak? Mama cuma mengajak Faik dan Ihsan untuk tinggal di sini. Kalau kamu tetap di sana, Mama enggak keberatan,” kelit Bu Atikah.
“Mama, Fadli kan papanya Ihsan. Masak iya, Fadli enggak bantuin Faik untuk mengurus Ihsan.” Fadli masih berusaha mempertahankan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ihsan itu masih kecil sekali, Nak. Dia juga enggak bakal ingat kalau kamu ikut mengasuh dia atau tidak. Yang jelas, saat bayi seperti ini, Ihsan lebih butuh ibunya. Dulu, Mama juga mengasuh kamu tanpa bantuan papamu…” Bu Atikah belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat Fadli tiba-tiba memotong pembicaraan.
“Tapi Fadli enggak mau jadi seperti Papa.” Mata Fadli menatap lurus pada ibunya. Dadanya terlihat naik turun menahan emosi. Perkataan terakhir ibunya tadi memancing luka yang disimpannya dalam-dalam selama ini.
Sepanjang ingatan Fadli, papanya hanyalah seseorang yang kebetulan ditakdirkan menjadi ayahnya. Ia tidak pernah benar-benar mengenal orang itu. Ia hanya pernah beberapa kali melihat sosoknya di rumah yang ia tinggali bersama ibunya.
Memang, papa dan mama Fadli tidak pernah nampak bertengkar di hadapannya. Namun ironisnya, papanya itu memang jarang terlihat berada di rumah. Ibunya selalu mengatakan bahwa papanya berada di kantor sedang bekerja saat Fadli menanyakan keberadaannya. Bahkan jawaban itu juga ia dapatkan saat Fadli menanyakan keberadaan papanya ketika ia terjaga dari tidurnya di tengah malam.
Mamanya selalu meyakinkan Fadli bahwa berkat papanyalah ia bisa hidup dengan nyaman. Papanya selalu mengorbankan waktunya untuk bekerja demi bisa memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya. Oleh sebab itu, ibu Fadli mengharapkan agar Fadli maklum dengan kondisi papanya yang jarang terlihat di rumah.
Awalnya, Fadli percaya begitu saja dengan ibunya. Ia masih bisa menceritakan dengan bangga tentang kedua orang tuanya ketika ia mendapat tugas untuk menulis cerita tentang keluarganya dari sekolah.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Fadli akhirnya paham bahwa keadaan kedua orang tuanya sebenarnya tidaklah baik-baik saja. Ia terkadang mendapati ibunya sedang menangis sendirian di malam hari.
Ketika itu, ia memasang alarm untuk bisa bangun lebih awal untuk belajar tanpa diketahui ibunya. Saat sudah terbangun, Fadli yang kelaparan memutuskan untuk mencari makanan dulu di dapur. Di tengah perjalanan, ia mendengar suara tangisan dari dapur. Ia sebenarnya merasa sedikit takut karena kondisi rumah besar mereka yang gelap di malam hari.
Fadli kecil akhirnya memberanikan diri untuk menengok dapur. Ternyata, suara tangisan itu berasal dari ibunya yang sedang duduk sendirian membelakanginya. Sejak saat itulah Fadli menjadi sedikit mengerti tentang ketidakharmonisan hubungan ayah dan ibunya.
Dugaan Fadli diperkuat dengan perceraian kedua orang tuanya yang akhirnya terjadi saat dia masih sekolah SMP. Setelah memberitahukan hal itu, ibunya langsung mengemasi barang-barang mereka berdua dan mengajaknya untuk keluar segera dari rumah besar itu.
Fadli sendiri tidak punya pilihan lain selain mengikuti ibunya karena ia sendiri sudah tidak pernah bertemu dengan ayahnya sejak tiga bulan yang lalu. Ia dan ibunya kemudian pergi ke ibukota. Di sana, mereka menginap di rumah satu-satunya saudara Bu Atikah.
Rumah itu sangat sederhana sekali. Sangat berbeda dengan rumah besar mereka dulu. Teras depannya sudah disulap menjadi sebuah warung kecil tempat sang pemilik rumah, yang merupakan seorang janda tua, mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Kehidupan Fadli berubah 180 derajat setelah ia keluar dari rumahnya. Fadli tidak memiliki kamar sendiri sekarang. Rumah kecil itu hanya memiliki satu kamar yang ditempati oleh sang pemilik rumah.
Ia juga pindah ke sekolah dan lingkungan baru. Semua ini membuatnya bingung. Namun, ia tidak punya seorang pun yang bisa membantunya. Ibu dan budenya sudah sibuk mengurus warung. Ia harus berjuang sendiri mengatasi semuanya. Namun, satu yang membuatnya bahagia, ia sudah tidak pernah melihat ibunya menangis sendiri lagi di malam hari.
~Bersambung~