Faik dan Fadli memeriksakan Ihsan ke dokter anak langganan mereka keesokan harinya. Dokter anak mereka mengatakan bahwa Ihsan kemungkinan besar baik-baik saja karena tidak menunjukkan tanda-tanda yang membahayakan.
Setelah mendapatkan kepastian dari dokter anak mereka bahwa Ihsan baik-baik saja, Fadli pun memberanikan diri untuk memberitahukan niat ibunya untuk menginap di rumah mereka akhir minggu ini. Ia tak menyangka sama sekali bahwa tanggapan Faik begitu baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, Fadli mengira bahwa Faik akan menentang ide ibunya setelah pengalamannya menginap di rumah ibunya kemarin. Ternyata, Faik hanya mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mengembalikan jadwal Ihsan seperti sebelumnya sehingga ia bisa mendapatkan jumlah istirahat yang sesuai.
Hari demi hari di minggu itu berlalu begitu saja. Akhir minggu pun tiba. Bu Atikah tiba di rumah Fadli dan Faik pada Jumat malam. Seperti biasa, ia membawa berbagai macam lauk-pauk dan keripik kesukaan Fadli dan Faik.
Begitu tiba dan mencuci tangannya, Bu Atikah langsung menggendong Ihsan. Namun, Ihsan memberontak. Ia tidak ingin digendong. Bu Atikah akhirnya menyerah dan membiarkan cucunya main di lantai yang dilapisi karpet. “Sudah makan, anak ganteng?”
“Ihsan belum mulai makan, Ma,” jawab Faik.
“Lo, Ihsan sudah segini besarnya kok belum makan. Kemarin waktu di rumah, Mama juga sudah mendulang pisang kerok ke Ihsan setiap pagi. Dia mau lo. Lahap malah,” kata Bu Atikah dengan enteng. “Eh, Mama belum bilang ke Nak Faik, ya. Biasanya setiap sore, Mama ajak Ihsan jalan-jalan sambil makan pisang.”
Faik cukup terkejut. Dokter anak Ihsan menyarankan agar Ihsan mulai MPASI pada saat ia berumur enam bulan saja karena tidak ada indikasi khusus Ihsan membutuhkan MPASI lebih awal. Sekarang, Bu Atikah malah mengaku kalau beliau sudah beberapa kali mendulang makanan padat pada Ihsan.
Faik hanya meringis saja. Ia begitu terkejut dengan pengakuan ibu mertuanya. Ia merasa kecewe. Pada saat Ihsan berumur lima bulan, Faik sudah begitu bersemangat untuk menyambut Ihsan yang sebentar lagi memasuki masa MPASI. Namun ternyata, suapan pertama Ihsan malah dilakukan oleh ibu mertuanya. Lebih parah lagi, hal itu dilakukan tanpa sepengetahuannya. “Mmm. Ma, sebenarnya dokter anak Ihsan berkata kalau Ihsan bisa mulai makan umur enam bulan saja.”
“Mama tahu, kebanyakan bayi memang mulai MPASI enam bulan. Itu kan karena menunggu kesiapannya si bayi. Kalau si bayi belum bisa duduk, nanti dikhawatirkan akan tersedak.” Bu Atikah mencium cucunya. “Nah, Ihsan ini kan sudah bisa duduk tegak. Itu berarti dia sudah siap. Fadli dulu malah mulai makan umur empat bulan. Tapi itu dulu karena memang Mama belum tahu ilmunya. Sekarang kan Mama sudah tahu. Lagian, Fadli dan Ihsan juga baik-baik saja walaupun sudah makan sebelum enam bulan, kan.” Bu Atikah kembali bermain bersama cucunya.
Faik menghembuskan napas panjang. Tentu saja dia melakukan itu pelan-pelan agar tidak menyinggung mertuanya. Untuk mengalihkan perhatiannya, Faik akhirnya memilih untuk menata barang-barang pemberian ibu mertuanya ke lemari penyimpanan.
“Ini sudah malam tapi Fadli belum pulang, Nak Faik?” tanya Bu Atikah.
“Belum, Ma. Akhir-akhir ini Mas Fadli sering lembur memang,” jawab Faik. Ia sendiri sebenarnya agak keberatan dengan seringnya Fadli lembur akhir-akhir ini.
Bu Atikah menghembuskan napasnya kecewa. “Apa keuangan kalian sedang tidak baik-baik saja sampai Fadli harus sering lembur?”
Faik agak terkejut dengan pertanyaan Bu Atikah. Ia tidak tahu ke mana arah pembicaraan ibu mertuanya itu selanjutnya. Ia memilih untuk menjawabnya dengan hati, “Enggak kok, Ma. Kami baik-baik saja.”
“Kamu dulu kan kerja walaupun kerjanya hanya paruh waktu. Jadi apa kamu itu dulu? Progaming?” tanya Bu Atikah lagi.
Faik menahan tawanya, “Programmer, Ma. Kami sudah sepakat dulu bahwa Faik akan berhenti sejenak mengambil pekerjaan paruh waktu supaya bisa berkonsentrasi mengurus Ihsan. Walaupun begitu, keuangan kami baik-baik saja kok, Ma. Kami juga masih bisa menabung walaupun tidak sebanyak dulu.”
“Kamu tidak perlu bohong sama Mama, Nak Faik. Kalau memang kurang, Nak Faik bisa bekerja lagi. Tugas istri memang bukan untuk mencari nafkah. Tapi ya kalau memang kurang, kenapa tidak dibantu suaminya? Kalau misalkan Nak Faik khawatir dengan Ihsan, Ihsan bisa sama Mama dulu untuk sementara,” kata Bu Atikah.
Faik begitu terkejut dan sama sekali tidak mengira arah pembicaraan ibu mertuanya ke arah ini.
~Bersambung~