“Mama memang hanya ibu mertuamu, Nak Faik. Tapi, Nak Faik bisa percaya sama Mama. Nak Faik boleh kok minta tolong sama Mama untuk menjaga Ihsan kalau memang Nak Faik harus bekerja lagi.” Bu Atikah menarik dan menghembuskan napas perlahan.” Mama juga sangat menyayangi Ihsan. Mama janji akan menjaga Ihsan dengan baik.”
Karena bingung menanggapi ibu mertuanya, Faik hanya tertawa kecil. “Kami benar-benar baik-baik saja kok, Ma. Faik tidak sedang bohong. Kami berdua bukan orang yang suka belanja. Jadi uang gaji kami hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Selebihnya, kami tabung.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdengar suara bel mobil di luar pagar.
“Itu Mas Fadli sudah pulang, Ma. Faik mau buka pagar dulu.” Faik berlari kecil keluar rumah dan membuka pagar.
Begitu masuk ke dalam rumah, Fadli langsung menuju ke arah Ihsan. Faik yang mengikuti di belakangnya mengingatkannya untuk mencuci tangan dan berganti baju dulu. Fadli yang baru ingat langsung tertawa kecil dan menuruti istrinya.
Begitu selesai cuci tangan dan kaki, serta mengganti pakaiannya, Fadli langsung menggendong anaknya yang sedang bermain bersama Bu Atikah. Namun, Ihsan yang digendong Fadli justru mulai menangis. Ia juga berusaha melepaskan dirinya. Fadli menjadi bingung.
Akhir-akhir ini memang Ihsan menjadi lebih pemilih. Biasanya, ia mau saja digendong olehnya. Namun, akhir-akhir ini, ia selalu lebih memilih ibunya. Sewaktu growth spurt kemarin juga Fadli berusaha lebih keras saat ia menggantikan menjaga Ihsan agar istrinya bisa istirahat. Anaknya itu seperti ingin selalu menempel pada ibunya.
“Mungkin Ihsan sudah mengantuk, Sayang,” kata Faik. Ia pun menghampiri Fadli dan ganti menggendong Ihsan. “Aku tidurkan dia dulu ya.” Faik menoleh pada ibu mertuanya sambil mengangguk. “Faik ke atas dulu, Ma.”
“Tadi Mama juga ditolak sama Ihsan kok, Fadli.” Bu Atikah tersenyum kecut. “Anak bayi itu ya memang begitu. Maunya apa-apa sama ibunya. Kamu dulu juga begitu. Kalau digendong papamu, kamu selalu menangis. Tangisan Ihsan tadi masih lebih pelan daripada tangisanmu dulu.”
Fadli hanya mengeluarkan tawa kecil untuk menanggapi ibunya. Namun, batinnya bergolak. ‘Apakah Ihsan masih marah padaku karena aku lalai dalam menjaganya kemarin?’ batin Fadli. ‘Tapi aku rasa tidak. Sebelum-sebelum ini juga dia lebih memilih ibunya. Apa memang ini wajar? Apa memang peran ayah tidak terlalu penting saat anak masih bayi?’
“Nak Faik bilang kalau kamu jadi sering lembur akhir-akhir ini.” Bu Atikah menghampiri Fadli di ruang tamu dan ikut duduk di sofa.
Fadli agak terkejut dengan sapaan ibunya. “Eh, iya, Ma. Di kantor sedang banyak pekerjaan. Fadli enggak mungkin santai-santai saja dong kalau yang lain sibuk bekerja. Lagian juga, siapa tahu nanti Fadli bisa naik jabatan lagi. Kalau itu benar-benar terjadi, Fadli janji bakal kasih hadiah Mama umroh. Mama juga bisa banggain Fadli ke teman-teman arisan Mama nanti.” Fadli mengangkat kedua alisnya dengan cara main-main.
“Ih kamu. Mama enggak hobi merumpi. Mama masih merumpi sih, tapi ya hanya sesekali saja. Kalau umroh, Mama memang berencana mendaftar umroh tahun ini. Sahabat Mama, Bu Marni, mengajak Mama untuk umroh bareng. Tabungan Mama sudah lebih dari cukup untuk umroh, Fadli. Kamu bisa tabung saja sendiri.” Bu Atikah tertawa mengikik sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Ia kemudian menegakkan punggungnya dan mengubah raut mukanya menjadi serius, “Tapi kamu harus selalu hati-hati ya, Nak. Kamu tahu sendiri kalau semakin kaya seseorang, semakin bebas ia. Kebebasan itu bisa menggiringnya ke arah yang lebih baik atau buruk. Yang jelas, kamu harus selalu ingat rumah. Kamu harus selalu ingat kalau di rumahmu ada istri dan anakmu yang selalu menunggumu dan mencintaimu apa adanya.” Bu Atikah menghela napas panjang, “Jangan sampai kamu mengulangi yang dilakukan papamu dulu saat sudah berada di atas sana. Jangan sampai kebebasan itu membuat kamu tidak ingat batasan. Dan batasan itu memang ada untuk membuat kita agar tidak mengganggu, apalagi sampai menghancurkan kehidupan orang lain.”
Raut muka Fadli berubah muram mengingat kembali masa lalunya. Masa itu, dia termasuk yang memiliki uang jajan terbanyak di antara teman-teman sekolah. Namun, di masa itu juga, dia menjadi orang paling menyedihkan yang harus melihat ibunya menangis malam-malam sendirian. “Iya, Ma.” Fadli tak bisa tidak menuruti nasehat ibunya.
~Bersambung~