Novel: Loving You (Part 2)
Untuk membaca bagian sebelumnya, bisa klik di sini.
Fadli masih termenung memandangi istrinya. Dia merasa takjub, takut, kagum, bahagia, dan marah sekaligus. Semua perasaan itu membuatnya bingung sekali.
Sementara itu, Mira langsung menyerobot masuk ke dalam kamar mandi. Ia langsung mengecek bayi yang digendong oleh Faik. Setelah memastikan bahwa bayi Faik memiliki nilai APGAR[1] yang cukup, ia langsung menoleh pada Faik dan mengucapkan selamat atas kelahiran bayi laki-lakinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Fadli, ke sini dong! Apa kamu gak mau lihat anakmu?” Mira mengajak Fadli masuk dan melihat bayinya.
Setelah Fadli masuk, Mira memberikan bayi pada Faik lagi agar dilakukan inisiasi menyusui dini (IMD). Ia sendiri kemudian mengeluarkan sarung tangan steril dari dalam tasnya. Setelah itu, ia mulai melakukan klem pada pusar bayi dan mengundang Fadli untuk memotong tali pusar bayinya.
Fadli yang masih syok bergerak seperti robot dan menuruti semua perintah Mira. Ia akhirnya memotong tali pusar bayinya dengan bimbingan Mira.
Terdengar suara Faik yang mengerang kesakitan lagi. Mira langsung sigap. Ia memposisikan dirinya di dekat kaki Faik untuk membantu Faik melahirkan plasentanya. Setelah plasenta terlahir dengan lancar, Mira kemudian memeriksa apakah ia perlu melakukan jahitan untuk Faik.
Faik yang sudah rajin sekali membaca tentang kelahiran, mempersiapkan betul kelahiran tersebut. Ia rajin sekali melakukan senam yang bisa memudahkan proses kelahiran. Hal itu membuat Mira tersenyum karena ternyata perineum Faik tidak membutuhkan jahitan.
Setelah prosesi IMD selesai, Mira meminta Fadli agar membantu Faik mandi. Ia sendiri membawa bayi mungil Faik dan Fadli ke wastafel untuk dibersihkan.
Mira akhirnya pamit untuk undur diri setelah memastikan kondisi Faik dan bayinya baik. Ia juga meminta Faik untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit dalam dua minggu ini. Selain itu, ia juga sudah memberitahukan banyak hal tentang perawatan ibu dan bayi kepada mereka berdua.
Fadli akhirnya bisa menguasai dirinya sendiri walaupun belum sepenuhnya. Ia langsung menelepon mamanya untuk memberitahukan berita gembira tentang kelahiran anak pertama mereka.
Mendapat telepon dari anaknya pada hari aktif dan di jam kerja, membuat Atikah cukup kaget dan juga sedikit panik. Namun, ia berusaha tetap tenang dan mengangkat telepon dari anak semata wayangnya tersebut.
Setelah bertukar salam, Atikah langsung menanyakan perihal merngapa anaknya menghubunginya di jam yang tidak biasa itu.
“Faik sudah melahirkan, Ma. Anak kami laki-laki dan sehat.” Fadli sangat semangat memberitahukan tentang kelahiran putranya kepada mamanya.
Senyum lebar langsung terbit di wajah Bu Atikah mendengar kabar dari Fadli. Hatinya ikut mengucapkan hamdalah. “Oh, ya? Berarti kalian masih di rumah sakit ini? Mama akan segera ke sana. Kalian di rumah sakit tempat Faik biasa periksa kandungan, kan?” Ia sudah bersiap mengemasi barang-barangnya.
Fadli ragu-ragu mengatakan kondisi sebenarnya pada mamanya itu, tapi, ia terpaksa harus memberitahukannya. Ia tidak mempunyai alasan yang bisa menghindarkan mamanya dari menjenguk mereka langsung. “Anu, Ma. Faik melahirkan di rumah…”
“HAH? APA KAMU BILANG TADI? FAIK MELAHIRKAN DI RUMAH? APA YANG DIPIKIRKAN OLEH ISTRIMU ITU SAMPAI BISA-BISANYA DIA MENGINGINKAN UNTUK MELAHIRKAN DI RUMAH? APAKAH IA TIDAK TAHU KALAU MELAHIRKAN ITU PENUH RISIKO? DIA JUGA SUDAH TIDAK MUDA LAGI. BUKANNYA DIA SEORANG YANG BERPENDIDIKAN? KALAU ADA APA-APA DENGAN CUCUKU BAGAIMANA? APA DIA MAU TANGGUNG JAWAB, HAH?” Bu Atikah bahkan tidak menunggu Fadli untuk menyelesaikan omongannya.
Ia begitu murka. Ia merasa dikhianati oleh anak dan menantunya karena sebelumnya mereka berdua berkata padanya bahwa cucunya akan dilahirkan di rumah sakit agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dokter bisa langsung memberikan pertolongan.
Muka Fadli langsung berubah pucat. Ia berusaha untuk memberikan penjelasan pada mamanya,” Tapi, Ma…”
Sayangnya, sekali lagi, mamanya memotong pembicaraannya, “SUDAH, GAK USAH BANYAK TAPI. MAMA AKAN KE SANA SEKARANG.”
Selesai mengatakan itu, Bu Atikah langsung memutus sambungan telepon. Ia langsung bersiap-siap menuju rumah anaknya.
‘Mereka berdua harus bisa memberikan penjelasan yang baik atas apa yang telah terjadi.’ Bu Atikah membatin sambil meremas tas tangannya dalam perjalanan ke rumah anaknya.
~Bersambung~
[1] Nilai APGAR merupakan suatu metode sederhana untuk menilai kondisi kesehatan bayi baru lahir sesaat setelah kelahirannya secara cepat. Untuk lebih jelas, bisa klik di sini.
Lanjutan cerita bisa dibaca di sini.