Bu Atikah tentu saja langsung memberikan kotak yang ia ambil tadi karena ia tahu cucunya sangat menginginkannya dari tadi. Ia agak tidak habis pikir pada menantunya yang membiarkan cucunya berusaha begitu keras dan gagal berkali-kali untuk mendapatkannya.
Faik tersenyum melihat anaknya akhirnya berhasil mendapatkan yang ia inginkan. Pandangannya kemudian jatuh pada kotak yang dipegang Ihsan. Ternyata itu adalah kotak makanan bayi instan. Ia cukup terkejut dan mengernyitkan dahi. Ia kemudian melihat pada isi kantung plastik yang lain. Ternyata isinya kotak yang sama dengan berbagai macam warna yang berbeda.
‘Untuk apa Fadli membeli makanan bayi instan begitu banyak?’ Faik bertanya pada dirinya sendiri. Karena ia begitu penasaran, Faik akhirnya langsung menanyakan perihal ini pada suaminya yang sekarang sudah duduk sambil ikut memperhatikan Ihsan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ihsan kan sudah mulai makan, Sayang. Jadi aku belikan bubur untuk dia. Karena aku tidak tahu Ihsan suka yang mana, jadi aku beli saja semua yang ada di toko itu. Aku sudah cek tanggal kadaluarsa dan kecocokan umurnya kok. Aku beli semua yang untuk usia enam bulan,” jawab Fadli sambil tersenyum lebar dan mengacungkan jempol tangan kanannya.
Faik tertawa kecil mendengar jawaban suaminya. “Terima kasih, Sayang.” Dalam hati, ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan suaminya itu. ‘Lalu, buat apa aku tidak bekerja kalau aku tidak bisa memasak sendiri makanan untuk bayiku, Sayang?’ kata Faik dalam hati.
Fadli langsung berhenti tersenyum melihat tawa dan senyum istrinya. Ia tahu betul bagaimana tawa dan senyum asli dan palsu istrinya. Mata istrinya yang lebar itu biasanya akan langsung menjadi seperti bulan sabit saat istrinya tersenyum karena bahagia. Namun kali ini, tidak begitu.
Ia menjadi salah tingkah dan menghembuskan napas cepat tapi dengan suara pelan agar tidak diketahui ibunya yang duduk dekat dengannya. ‘Sepertinya aku melakukan kesalahan lagi,’ batinnya.
~Bersambung~
Halaman : 1 2