Faik bisa melihat jelas Fadli duduk di dekat kasir melalui jendela besar restoran di depan mobilnya. Tidak lama setelahnya, seorang pelayan wanita yang memberikan pesanannya. Yang aneh, Perempuan tersebut malah berbincang-bincang dengan suaminya secara akrab walaupun hanya sebentar.
“Aku baru tahu kalau kamu punya kenalan di retoran ini.” kata Faik begitu Fadli masuk mobil dan menutup pintunya. Suaranya pelan tapi begitu tajam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Cuma teman SMA. Kami pernah sekelas waktu kelas sepuluh atau sebelas gitu. Aku sendiri juga tidak begitu ingat. Tapi ya hanya itu. Aku dari dulu tidak punya terlalu banyak teman. Waktu kuliah saja, teman yang benar-benar dekat denganku itu cuma Robi dan Randi. Kamu seringnya hanya melihatku bersama Randi karena memang Robi memiliki hobi yang agak berbeda dari kami.” Fadli benar-benar tidak ingin istrinya salah paham. Selama ini, ia sama sekali tidak tertarik pada perempuan lain.
“Oh, ya? Tapi sepertinya kalian cukup akrab.” Faik memalingkan wajahnya menatap jendela.
Fadli menghembuskan napas pendek dan tertawa kecil. Tangannya meraih meraih dagu istrinya dan mengarahkan wajah istrinya agar menatapnya. “Dia aja yang sok akrab. Kami bahkan tidak pernah sekelompok dulu. Lagian apalagi yang aku cari? Aku punya istri super cantik yang juga sangat pintar. Walaupun begitu, dia malah mau mengorbankan dirinya untuk mengurusku dan sekarang juga mengurus anakku. Kamu itu seperti emas bagiku, Faik. Bodoh sekali kalau sampai aku membuang emas untuk mendapatkan barang lain yang aku bahkan tidak tahu apakah barang itu berharga atau tidak.”
Faik tidak bisa menahan senyumnya. Pipinya langsung memerah. Ia menunduk malu-malu. Namun suaminya itu malah mengangkat dagunya lagi dan mencium bibirnya. Hanya ciuman singkat saja yang diberikan suaminya. Namun, hal itu berhasil membuat seluruh wajahnya kini bersemu merah.
‘Akhirnya mata bulan sabitnya kembali lagi,’ batin Fadli yang ikut bahagia melihat istrinya sudah bisa benar-benar tersenyum lagi.
Setelah perasaannya lega karena sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman kecil antara mereka, Fadli pun menjalankan mobilnya pulang.
“Kalian habis menghadiri pernikahan di gedung, kan? Kenapa bisa membawa banyak makanan begini? Jangan bilang kalian menunggu acara itu selesai dan meminta sisa makanannya untuk dibawa pulang? Kalian memang cukup lama sekali tadi. Lihat, Ihsan sampai sudah tidur pulas gitu.” Bu Atikah langsung memberondong mereka dengan banyak pertanyaan sekaligus begitu mereka masuk ke rumah.
“Makanan ini bukan sisa. Aku tadi kepikiran apakah Mama sudah makan atau belum. Jadinya aku mampir ke restoran dulu dan membeli makanan-makanan ini,” jawab Fadli.
“Mama sudah makan.” Bu Atikah membantu anaknya membuka dan memanaskan lagi makanan yang dibeli anaknya. “Tadi masakan Faik kan masih ada. Tadi Faik kan masak sayur bayam. Sayur bayam itu kan katanya kalau dihangatkan bisa jadi beracun. Makanya tadi Mama habiskan saja. Udah, biar Mama aja yang nungguin makanan ini. Kamu pasti sudah capek kan? Istirahat sana!”
Fadli pun mematuhi ibunya dan menyusul istrinya yang sudah terlebih dahulu ke atas karena harus menidurkan Ihsan di kamar.
“Kamu masih belum akan tidur, Sayang?” kata Faik setelah ia selesai menggosok gigi.
“Belum, Sayang. Masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Kamu tidur dulu saja. Enggak usah menunggu aku,” jawab Fadli sambil tersenyum.
“Jangan malam-malam, apalagi sampai pagi, ya,” pesan Faik. Ia agak kecewa karena ia sebenarnya menginginkan Fadli malam ini. Sudah sebulan ini, dia tidak bercinta dengan suaminya itu. Namun, ia memutuskan untuk menurut saja. ‘Mungkin memang pekerjaan Fadli sedang banyak-banyaknya saat ini,’ batinnya.
Tidak banyak yang terjadi selama seminggu ini kecuali Fadli yang hampir saja membuat Ihsan terjatuh dari teras rumahnya saat menjaganya. Ia lengah lagi karena menjaga Ihsan sambil membaca sekilas laporan pendek yang dikirim bawahannya.
Akhir minggu ini sebenarnya Faik dan Fadli berencana untuk berlibur ke sebuah vila di gunung. Vila tersebut merupakan milik keluarga Faik. Namun sepertinya rencana mereka harus batal karena hari itu, Ihsan demam tinggi.
Faik memutuskan untuk merawat Ihsan di rumah dulu karena mengira anaknya itu hanya mengidap flu biasa karena memang Ihsan batuk dan hidungnya juga berair. Ia mengompres Ihsan dengan air hangat dan berusaha untuk memberikan Ihsan lebih banyak cairan. Ia juga menggendong Ihsan ke mana-mana karena anaknya merasa sangat nyaman dan menangis saat diturunkan. Ihsan juga menolak ayahnya untuk menggendongnya.
Demam Ihsan tidak kunjung turun keesokan harinya. Demamnya bahkan semakin naik pada hari keempat. Selain itu, muncul ruam-ruam merah di pipi dan lehernya. Faik segera membawa Ihsan ke rumah sakit.
Fadli sendiri saat itu berangkat kerja seperti biasa karena memang istrinya meyakinkannya bahwa ia bisa merawat Ihsan sendiri. Selain itu, hari ini, dia juga harus melakukan sebuah presentasi yang penting untuk atasannya.
Faik sampai di UGD sebuah rumah sakit. Ia sebenarnya ingin langsung memeriksakan anaknya ke dokter anak langganannya, namun sayangnya, dokter itu baru bertugas di sore hari. Faik tidak sabar menunggu hingga sore karena anaknya sudah terlihat lemas sekali.
Halaman : 1 2 Selanjutnya