Cerita sebelumnya, bisa dibaca di sini.
Posisi tangga yang dekat sekali dengan ruang makan tempat ibu mertua dan suaminya sedang berbincang, membuat Faik tidak bisa berpura-pura ia belum turun. Suami dan ibu mertuanya sudah pasti bisa melihat bahwa ia sudah berada di lantai bawah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faik juga tidak bisa berpura-pura ia tidak mendengar perkataan ibu mertuanya karena posisi tangga dan ruang makan yang sangat dekat itu. Hatinya serasa diiris-iris oleh pisau yang tumpul, sangat sakit sekali.
Selama ini, Bu Atikah begitu baik pada Faik. Bu Atikah tidak pernah berkata kasar atau menjelek-jelekkan Faik. Bu Atikah juga tidak pernah terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka berdua.
Waktu pertama bertemu pun, Bu Atikah menyambut hangat Faik.Faik sudah menganggap Bu Atikah sebagai ibunya sendiri. Ia bahkan menganggap Bu Atikah lebih baik dari ibunya sendiri.
Hubungan Faik dan ibu kandungnya memang tidak dekat. Faik merasa ibunya terlalu mengatur dan membatasi ruang geraknya. Ibunya juga tidak pernah membelanya kala ia dimarahi oleh ayahnya yang memang berwatak keras.
Suasana ruangan itu berubah menjadi hening. Faik berusaha sekuat tenaga menjaga agar air matanya tidak tumpah. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Sementara itu, Fadli menyadari bahwa istrinya pasti mendengar perkataan ibunya tadi. Ia juga mengetahui bahwa istrinya pasti merasa tersakiti oleh perkataan itu.
Tanpa banyak berpikir lagi, Fadli langsung meletakkan spons cuci pada tempatnya dan piring pada bak cucian lagi. Ia lalu membilas tangannya yang terlanjur terkena sabun pencuci piring. Setelah memastikan tangannya bersih, ia langsung menghampiri istrinya itu untuk menenangkannya.
Bu Atikah yang juga menyadari keberadaan Faik langsung menaruh gelas berisi air minumnya. Ia berdiri dan ikut menghampiri menantunya itu. Posisinya yang lebih dekat dengan Faik membuatnya bisa memeluk menantunya itu lebih dulu.
“Maafkan Mama, Nak Faik. Mama bukan sedang menghina Nak Faik. Mama ini kan sudah lebih berpengalaman dari Faik. Mama dulu juga yang menyusui Fadli. Air susu ibu itu kan diproduksi di dada kita, para perempuan. Nah, sekarang ini, dada Faik masih kecil, tentu saja belum bisa menghasilkan air susu yang banyak. Oleh karena itu, Mama kira Faik belum bisa mencukupi kebutuhan ASI Ihsan. Nanti seiring bertambahnya waktu, dada Faik akan membesar jika Ihsan rajin menyusu. Saat itu, Mama yakin Faik sudah bisa mencukupi kebutuhan ASI ihsan.” Bu Atikah berusaha menghibur Faik sambil memeluknya.
Faik menarik napas dalam dan menghembuskannya. “Iya, Ma,” jawab Faik pendek. Tak bisa dipungkiri, ia masih merasa sakit hati.
Suasana kembali hening sampai Bu Atikah memecahkan keheningan itu lagi. “Kamu sudah makan, Nak Faik? Kalau belum, makan dulu. Ihsan biar Mama gendong. Mama juga ingin gendong cucu Mama.” Bu Atikah mengulurkan tangannya ingin menggendong cucunya.
“Sudah, Ma. Kalau Mama mau gendong, silakan.” Faik menyerahkan bayinya untuk digendong mertuanya.
Bu Atikah menerima cucunya dengan hati-hati. Kebahagiaan membuncah dalam dadanya. Ia melihat bayi mungil di gendongannya itu lekat-lekat sambil tersenyum. Pikirannya melayang mengingat kembali masa ketika ia menggendong anak semata wayangnya ketika masih bayi.
Bayi mungil itu tertidur pulas. Pipinya yang tembam kemerah-merahan. Rambutnya hitam dan lebat. Sesekali, mulutnya terlihat mengerucut, membuat siapa saja yang memandang bertambah gemas dan ingin menciuminya.
Bu Atikah memanjatkan doa dalam hati. Doa yang sama yang ia panjatkan ketika ia menggendong anak lelakinya dulu ketika masih bayi. Doa agar bayi yang digendongnya itu bisa tumbuh dengan baik dan menjadi anak yang baik.
Tak terasa, setitik air mata lolos dari matanya dan mengalir membasahi pipi dan jatuh mengenai bajunya. Bu Atikah langsung memperbaiki posisi menggendongnya dan menghapus sisa air mata itu dengan jari telunjuknya yang bebas.
“Oh iya, kata Fadli, kamu melahirkan di rumah ini. Kenapa tidak di rumah sakit saja, Faik? Di sana lebih banyak tenaga profesional yang bisa membantu. Peralatan juga tersedia lengkap.” Bu Atikah merasa hatinya memanas lagi kala mengingat cucunya lahir tidak di rumah sakit. Namun, ia berusaha untuk menahan emosinya karena tidak ingin membangunkan cucunya yang sedang tertidur pulas di gendongannya.
~bersambung~