Cerita sebelumnya, bisa dibaca di sini.
Faik menelan ludah mendengar pertanyaan ibu mertuanya. “Iya, Ma. Sebetulnya hari perkiraan lahir Ihsan masih dua minggu lagi. Saat sedang asyik mengerjakan tugas tadi pagi, Faik tiba-tiba mulas. Faik kira hanya karena salah makan. Tapi semakin lama semakin sakit. Punggung Faik juga terasa nyeri sekali. Faik berpikir kalau mungkin Faik mengalami kontraksi palsu karena waktunya juga tidak teratur datangnya. Oleh karena itu, Faik hanya mengikuti saran Mira saat terjadi kontraksi. Faik berusaha napas perlahan sambil beristirahat. Lama-kelamaan, durasi kontraksi semakin panjang sampai-sampai Faik merasa lemas sekali. Akhirnya Faik telepon Mira dan Mas Fadli. Eh, ternyata tidak sampai satu jam setelahnya, Faik merasa seperti ingin buang air besar. Faik berusaha menenangkan diri tapi tidak bisa. Akhirnya Faik coba ingat-ingat apa yang harus dilakukan saat melahirkan. Alhamdulillah Ihsan lahir tidak lama setelah itu.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bu Atikah membelalakkan matanya. Dia begitu terkejut dan sedikit tidak percaya mendengar penjelasan menantunya. “Jadi, kamu melahirkan Ihsan sendirian di sini?”
Faik tersenyum canggung. “Iya, Ma.”
“Lalu, ari-ari Ihsan bagaimana? Siapa yang potong tali pusarnya?” Bu Atikah masih berusaha untuk menelaah apa yang terjadi saat kelahiran cucunya.
“Fadli dan Mira datang bersamaan tepat saat ihsan baru lahir, Ma. Mira langsung menolong Faik. Ia membantu memotong tali pusar Ihsan, lalu menolong Faik melahirkan ari-ari Ihsan.” Fadli menjawab pertanyaan ibunya. Satu tangannya memeluk istrinya, menyemangatinya. Ia sendiri merasa begitu bangga dengan istrinya tersebut yang bisa melahirkan seorang diri. Selain itu, ia sebenarnya juga merasa bersalah karena tidak bisa menemani istrinya saat sedang menyabung nyawa untuk melahirkan buah hati mereka.
Bu Atikah menarik napas dalam dan mengembuskannya. Dadanya naik turun beriringan dengan napasnya. Terlihat sekali ia masih berjibaku dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, ia benar-benar masih belum bisa mempercayai penjelasan anak dan menantunya. Di sisi lain, ia juga sangat bersyukur karena cucunya bisa lahir dengan selamat.
Suasanya menjadi hening kembali. Hanya terdengar suara jam dinding dan gemericik air yang mengalir di kolam kecil di sebelah ruang makan tersebut.
“Eh, sudah malam, Ma. Mama menginap di sini, kan? Besok pagi kalau Mama mau ke warung, Fadli antar. Tapi, kalau Mama mau di sini dulu juga boleh banget. Siapa tahu Mama masih pengen berlama-lama sama Ihsan.” Fadli akhirnya memecahkan keheningan di antara mereka. Ia sendiri sudah lelah dan ingin istirahat. Semua yang terjadi hari ini benar-benar masih membingungkan baginya.
Tiba-tiba saja anaknya sudah lahir. Tiba-tiba saja ia ditugaskan Mira untuk memotong tali pusar anaknya dan menguburkan ari-ari di sepetak tanah di halamannya yang tidak tertutup paving block. Semua ini membuatnya secara resmi menjadi ayah dengan segala tanggung jawabnya.
Memikirkan tentang hal ini membuat kepala Fadli pusing. Ia butuh tidur untuk meredakan segala emosi dan pikirannya.
“Iya, Fadli. Mama menginap malam ini. Besok, kamu antar Mama kembali saja. Mama harus meninjau warung juga.” Bu Atikah menyetujui usul Fadli. Ia kemudian menyerahkan cucunya ke menantunya kembali. Setelah itu, Bu Atikah beranjak menuju kamar yang biasa ia tempati saat menginap di rumah anaknya di lantai satu.
Fadli dan Faik sendiri naik ke lantai dua menuju kamar mereka sendiri. Mereka kemudian mengerjakan ritual sebelum tidur secara bergantian.
Setelah selesai, mereka berdua pun bersiap-siap untuk tidur. Akan tetapi, sepertinya mereka harus menunda rencana mereka itu. Ihsan menggeliat. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Bibirnya mengerucut mencari sumber makanannya. Faik dan Fadli tersenyum bersamaan melihat tingkah laku bayi mereka.
Faik langsung duduk, memangku Ihsan, dan menyusuinya. Fadli ikut duduk di sebelahnya. memeluk istrinya dengan satu tangan, sambil memandangi anaknya yang sedang menyusu dengan semangat. Mereka berdua hanyut dalam kebahagiaan.
Tiba-tiba, telepon genggam Faik berbunyi. Ada sebuah e-mail masuk ke kotak surat digitalnya. Faik melihat pratinjau e-mail tersebut. Ternyata itu adalah surat dari kliennya yang mengingatkannya untuk memberikan laporan kemajuan pekerjaan Faik.
Faik baru ingat. Ia memang sudah berjanji akan memberikan laporan progres pengerjaan pada hari Senin kepada kliennya tersebut. Kelahiran anaknya membuatnya benar-benar lupa mengenai pekerjaannya.
~Bersambung~