“Ada apa? Ihsan kenapa?” Fadli langsung terbangun dari tidurnya dan melompat berdiri begitu mendengar tangisan bayi mereka yang sangat nyaring.
“Sepertinya Ihsan cuma lapar,” jawab Faik. Ia berjalan menuju tempat tidur dan bersiap untuk menyusui anak mereka lagi.
“Tadi sepertinya aku juga dengar kamu berteriak. Apa aku yang salah dengar?” Menyadari bahwa tidak ada suatu kejadian darurat, Fadli kembali duduk bersandar sambil memegangi kepalanya dengan satu tangan. Kepalanya terasa berdenyut karena tadi ia terbangun dengan cara yang mengagetkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faik menoleh sambil tersenyum lebar pada suaminya. “Iya. Maaf ya. Tadi aku teriak karena susu cokelatku tumpah di meja. Alhamdulillah sepertinya tidak kena laptopku. Kalau kena, kerjaanku tadi bakal hilang tak berbekas.”
“Oh. Kukira ada apa tadi.” Fadli menyandarkan kepalanya ke headboard tempat tidur sambil memejamkan kedua matanya. Ia masih berusaha untuk mengumpulkan penuh kesadarannya kembali.
Faik kembali memandangi bayi mungil dalam dekapannya sambil mengelus-elus rambut tebal bayi tersebut.
“Eh iya, katanya Mas mau antar Mama pulang? Buruan gih, sebelum nanti kesiangan. Mama kan harus mengontrol rumah makannya. Mama juga sepertinya sudah bangun. Sekarang sudah jam enam pagi.” Faik kembali menoleh pada suaminya untuk mengingatkannya akan janjinya tadi malam.
“Oh, iya. Makasih sudah diingatkan, Sayang. Aku siap-siap dulu.” Fadli berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dalam kamar mereka. Ia kemudian berdiri di depan pintu sambil menoleh kembali ke istrinya. “Ngomong-ngomong, Sekarang kan hari Sabtu. Tidak biasanya kamu kerja hari Sabtu begini.”
Faik sedikit memutar badannya agar bisa menghadap suamianya. “Ah, iya. Kamis kemarin, aku sudah janji sama klien saat ambil pekerjaan. Aku janji kalau aplikasinya bakal selesai Senin besok. Aplikasinya sederhana, kok. Ini tadi juga sudah selesai satu bagiannya. Cuma, karena kemarin Jumat Ihsan tiba-tiba tidak sabar mau keluar, aku jadi tidak bisa mengerjakan. Aku enggak cukup kuat untuk berkonsentrasi mengerjakan sambil menahan sakitnya kontraksi. Akibatnya, aku harus mengerjakannya hari ini. Nah, karena aku harus mengerjakan tugas hari ini, aku mau minta maaf karena enggak bisa ikut antar Mama balik.”
“Enggak masalah, Sayang. Kamu juga baru aja melahirkan. Pasti masih capek.” Fadli tersenyum pada istrinya. “Mau nitip apa?”
“Apa aja. Masakan di rumah makan Mama enak semua. Mama benar-benar punya standar tinggi untuk rasa masakan yang disajikan di rumah makannya. Yang penting, porsinya yang banyak, ya. Jangan lupa, aku sekarang jadi seperti sapi perah. Aku harus makan banyak, “ jawab Faik sambil mengikik.
Fadli ikut tertawa. “Ok, deh. Kalau perlu kubawain semuanya nanti.”
“Eh, ya jangan semuanya juga dong dibawa. Kita kan enggak mau punya hajat, “ timpal Faik sambil sedikit mengeraskan suaranya karena Fadli sudah masuk ke walk in closet yang berada di antara kamar tidur dan kamar mandi mereka.
Fadli hanya menanggapi Faik sambil tertawa. Ia pun masuk ke kamar mandi dan mandi.
Faik ikut turun bersama Fadli yang sudah selesai bersiap-siap sambil menggendong bayinya. Di bawah, mereka berdua disambut dengan wangi makanan. Ternyata, Bu Atikah telah memasak untuk mereka berdua.
“Kebetulan kalian sudah turun. Ayo sarapan dulu sini. Mama baru saja selesai masak nasi goreng. Untuk Faik, Mama buat khusus yang tidak pedas. Yang sabar ya, Nak. Nanti kalau Ihsan sudah agak besar, kamu boleh makan pedas-pedas lagi.” Bu Atikah menyambut mereka sambil menaruh dua piring berisi nasi goreng yang masih mengepulkan asap di meja makan.
Bu Atikah kemudian menoleh pada Faik, “Oh iya, Nak Faik, tadi Mama pakai telur di kulkas dan daging ayam fillet di freezer kamu untuk buat nasi goreng ini.”
Faik tertawa kecil. “Enggak apa-apa, Ma. Faik malah yang terima kasih banget karena Mama sudah repot-repot masak pagi-pagi buat kami.”
“Mama dari dulu sampai sekarang memang kerjaannya masak pagi-pagi. Walaupun Rasa Kampung sudah punya tukang masaknya sendiri. Mama selalu bantuin mereka. Entah itu meracik bumbu, atau hanya sekadar membantu menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Rasanya, ada yang kurang dari hidup ini kalau Mama belum memasak. Ayo sini makan. Ihsan biar Mama gendong dulu.” Bu Atikah menghampiri Faik sambil mengulurkan tangan untuk menggendong cucunya.
~Bersambung~
Untuk membaca cerita sebelum dan sesudahnya, bisa klik di sini.