“Sekali lagi Mama tanya. Kalian benar-benar berniat untuk mengasuh anak kalian dengan baik atau tidak?” tanya Bu Atikah dengan nada tajam pada anaknya. Tatapannya lurus pada anak semata wayangnya. Ia meminta anaknya untuk bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima olehnya.
“Tentu saja, Ma.” Fadli tak sanggup lagi membantah perkataan ibunya.
Pandangan Bu Atikah kembali pada Ihsan. Ia melanjutkan mengeringkan tubuh Ihsan. “Mama tahu Mira itu seorang dokter. Tapi dia kan dokter kandungan, Fadli. Setelah Ihsan keluar dari perut ibunya, selesai sudah tugasnya.” Tangannya dengan cekatan memakaikan popok dan baju pada cucunya tersebut. Setelah selesai, ia juga membedung Ihsan dengan rapi dan menggendongnya. “Pokoknya, kita mampir ke supermarket dulu di perjalanan nanti. Di sana, kamu bisa beli bedak dan minyak telon untuk Ihsan,” perintah Bu Atikah tanpa ingin dibantah lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Iya, Ma,” jawab Fadli singkat sambil mengangguk.
Sementara itu, Faik yang baru saja selesai membereskan air bekas dan peralatan mandi Ihsan hanya bisa menghembuskan napas perlahan sambil menutup mata mendengar perdebatan ibu mertua dan suaminya. ‘Sepertinya, urusan pengasuhan ini akan menjadi sedikit rumit,’ gumamnya pada diri sendiri.
Walaupun begitu, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ibu mertuanya tidak akan tinggal lama di rumahnya karena beliau memiliki usahanya sendiri yang masih membutuhkan banyak perhatian. ‘Aku harus bersabar,’ gumamnya lagi.
Setelah membereskan barang bawaannya yang memang sedikit, Bu Atikah langsung bersiap-siap pulang.
“Lho, Nak Faik enggak ikut ke rumah Mama? Sekarang kan hari Sabtu, Fadli bilang kamu tidak bekerja saat akhir pekan. Kalian bisa menginap di rumah Mama sampai setidaknya Senin, kan? Nak Faik juga baru saja melahirkan, pasti masih butuh banyak bantuan. Lagian, kalau Nak Faik kerja, nanti siapa yang mengurus Ihsan? Tinggal di rumah Mama saja untuk beberapa saat,” kata Bu Atikah saat ia melihat menantunya yang masih memakai celana tidur.
“Faik ada tugas, Ma. Kemarin kan tiba-tiba Ihsan lahir, jadi Faik enggak bisa kerjakan tugasnya,” jawab Fadli sambil berjalan ke arah garasi.
“Iya, Ma. Tugas Faik harus dikumpulkan Senin besok,” tambah Faik sambil mengiringi ibu mertuanya berjalan juga ke garasi. “Nanti kapan-kapan, kita akan main ke rumah Mama.”
“Kalau kamu mengerjakan hari Sabtu, seharusnya dihitung lembur, dong. Lagian emang enggak ada jatah libur melahirkan?” tanya Bu Atikah.
“Faik kan pekerja lepas, Ma. Kamis sore kemarin, Faik sudah terlanjur ambil pekerjaan karena mengira Ihsan baru akan lahir dua minggu lagi. Jadi, pekerjaan ini harus diselesaikan sesuai kontrak dengan klien Faik,” jawab Faik sambil tersenyum.
Bu Atikah mengangguk-anggukkan kepalanya. “Omong-omong, Ihsan lahir di rumah, kan? Berarti dia belum diperiksa oleh dokter anak?” tanya Bu Atikah lagi.
“Iya, Ma. Besok Senin, Faik berencana mau antar Ihsan untuk mengunjungi dokter anak.” Faik mengulurkan tangannya untuk menerima Ihsan dari gendongan ibu mertuanya.
Setelah mencium Ihsan untuk kesekian kalinya, Bu Atikah akhirnya merelakan dirinya harus berpisah dengan cucu yang sudah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.
Fadli mengikuti ibunya masuk ke dalam mobil setelah mencium pipi istrinya terlebih dulu. “Kamu beneran enggak apa-apa ditinggal sendirian dulu, Sayang?”
“Iya. Tenang aja. Enggak usah butu-buru menyetirnya. Hati-hati!” jawab Faik sambil mengacungkan satu jempol tangannya. Ia kemudian melambaikan tangannya saat mobil Fadli mulai bergerak perlahan keluar dari garasi rumah mereka.
“Sekarang tinggal kita berdua di rumah, Sayang.” Faik berbicara pada bayinya setelah mobil Fadli menghilang dari pandangan. Ia kemudian menutup pagar dan masuk melalui pintu kecil di bagian samping rumahnya.
“Nah, sekarang kita bersih-bersih dulu ya, Sayang. Susu cokelat Mama tadi tumpah gara-gara Mama kaget dengar Ihsan menangis keras sekali,” kata Faik saat sampai di kamarnya sendiri.
Namun, sepertinya Ihsan tidak setuju dengan rencana Faik. Ia menggeliat dan mulai memaju-majukan bibirnya. Faik akhirnya mengalah. Ia menyandarkan tongkat pel yang baru saja ia ambil dari ruang cuci ke dinding kemudian duduk di kasur dan bersiap-siap untuk menyusui bayinya.
“Sepertinya, Mama jadi punya alarm otomatis sekarang.” Faik tertawa kecil sambil menatap bayinya yang sedang menyusu dengan enaknya.
~Bersambung