“Tidak usah. Kalian saja. Saya tunggu di luar,” ucapnya, lalu berlalu ke arah ruang tamu.
“Duduk, Nay,” perintah Arya kembali.
Aku pun mengambil piring lalu menyendokkan nasi. Tidak lama kemudian aku ikut makan bersama yang lain, di tengah suasana canggung. Bahkan anak-anak pun tidak ada yang berani berceloteh lagi. Mereka hanya bergantian melirik ke arah Arya secara sembunyi-sembunyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
***
Selesai makan, aku menyerahkan sisanya ke Bik Marni. Memintanya untuk membuatkan minum untuk mertuaku. Setelah mencuci tangan di bak cucian, aku segera menyusul Arya dan anak-anak di ruang tamu.
Tiba di sana, aku melihat Ren dan Hime duduk di lantai dengan mainannya, sementara Ibu dan Arya sedang membicarakan sesuatu yang tidak kutahu secara serius. Ketika melihatku, Ibu seolah tertangkap basah melakukan kesalahan, lalu berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Kok nggak pernah ngunjungi Ibu?” tanyanya, matanya mengikuti pergerakanku yang kemudian duduk di sisi Arya.
Aku sedikit ragu menjawab, sebab Arya sendiri belum pernah mengajakku untuk menemui orangtuanya semenjak selesai akad. Tapi di mata mertua, aku pasti salah karena tidak inisiatif untuk mengunjunginya sendiri. Aku salah karena toh bisa berkunjung tanpa harus diantar Arya lagi.
“Belum ada waktu, Bu,” jawabku standar.
“Ya diadain dong. Masa nggak bisa nyempetin sama sekali. Nggak nginap kan juga nggak masalah, Ibu maklum.”
“Saya masih sibuk, Bu. Naya juga baru bisa sedikit santai karena pengasuh kembar sudah ada.”
Aku sungguh terharu dengan sikap Arya yang selalu membantuku menjawab pertanyaan intimidatif dari ibunya. Belum sebulan aku sudah merasakan ketidaknyamanan jika dekat dengan mertua, bagaimana nantinya. Padahal kupikir selama ini aku adalah orang yang cukup mudah untuk bersosialisasi, selama lawan interaksiku juga asik.
“Dulu Diandra malah tiap libur ke rumah Ibu, padahal nggak dibantu pengasuh.”
Mungkin helaan napasku cukup terdengar di ruangan yang bisa dibilang tidak begitu luas ini, sampai-sampai Arya dan Ibu menoleh menatapku secara bersamaan. Biarkan saja. Aku sudah tidak peduli jika dikatakan tidak sopan, selama ini aku selalu diam jika Diandra diungkit di depanku. Tidak masalah jika saja aku tidak dibandingkan dengan dirinya.
“Maaf, Bu. Lain kali kalau anak-anak libur, saya akan sempatkan waktu kunjungi Ibu.”
“Jangan merasa terpaksa seperti itu. Kesannya Ibu mengemis untuk kalian datang.”
Astaga! Aku penasaran bagaimana perasaan Diandra memiliki mertua seperti ini, karena dengan karakter saudaraku yang seperti itu, aku yakin dia juga tidak begitu nyaman. Bagaimana pun dia bisa mengendalikan semua masalah dengan tenang, aku berani bertaruh dia pernah tersakiti setidaknya sekali dengan omongan mertuanya.
“Nggak ada yang terpaksa, Bu. Ini memang belum punya waktu aja. Atau mungkin bisa gantian Ibu yang nginap di sini.”
Ibu terdiam. Wajahnya sudah kusut dari tadi, untungnya Ren mengalihkan perhatiannya. Anak itu melaporkan jumlah mainannya yang bertambah, sementara Hime memintanya untuk dijadikan pasien bohongan.
Sementara itu, otakku berpikir keras bagaimana caranya aku bisa menaklukkan mertuaku ini? Kalau di minggu pertamaku sebagai menantunya saja sudah membuatnya marah seperti itu.
Part sebelum dan selanjutnya -> Nayanika
Halaman : 1 2