Saat aku mengusap air matanya, Diandra perlahan menutup mata. Terpejam dengan irama napas yang teratur. Tinggallah aku dan Arya dengan keadaan yang canggung. Aku berpura-pura batuk, tapi justru itu menarik perhatiannya, hingga beberapa saat kami malah saling bertatapan. Untuk mengakhiri sebelum semua menjadi semakin aneh, aku melanjutkan niat ke WC tadi. Aku berharap setelah menyelesaikan urusanku di sana, Arya sudah tertidur pulas di sofa.
***
Selepas subuh, aku meninggalkan rumah sakit. Diandra masih tidur, sementara Arya menawarkan mobilnya untuk kupakai, namun kutolak dengan halus. Jam-jam segitu jalanan sudah ramai, aku merasa tidak ada yang perlu kukhawatirkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lebih aman lagi kalau kamu membawa mobilku,” ucap Arya masih setengah memaksa.
“Lalu yang balikin ke sini siapa?” tanyaku menahan rasa kesal.
“Kan ada Mama. Nanti kalau Mama mau pulang, aku bisa antar.”
“Trus yang nungguin Diandra siapa?”
“Sorean ibuku mau datang. Membawa anak-anak.”
Haduh. Ribet sekali Arya ini. Lagian ini bukan pertama kalinya aku jalan sendirian di subuh-subuh begini. Di Jakarta, aku bahkan sudah terbiasa pulang larut karena harus lembur kejar target.
Apa jangan-jangan dia terbawa perasaan dengan permintaaan Diandra semalam? Dia tidak menganggap serius kan? Kenapa mendadak perhatian seperti ini? Kemarin-kemarin juga cuek. Bahkan jarang berbicara jika bukan aku yang inisiatif mengajaknya ngobrol.
“Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Aku jamin aku nggak akan kenapa-kenapa.” Sebelum otakku menyimpulkan hal-hal yang tidak mungkin terkait perasaan yang muncul di hati Arya, aku segera mengambil ranselku, lalu mendekati Diandra untuk mencium dahinya. Sementara aku melakukan itu, ekor mataku menangkap Arya yang mengikuti pergerakanku. Sebelum kepalaku semakin memikirkan hal konyol, aku berjalan cepat menuju pintu keluar.
Sampai di rumah, aku segera mandi dan menyiapkan semua barang dan pakaianku ke dalam koper. Aku berpesan pada Mama untuk selalu mengabariku setiap perkembangan Diandra. Beliau ingin mengantarku ke bandara, namun tidak kubiarkan. Aku memintanya untuk segera ke rumah sakit untuk menggantikan Arya. Diandra dan Arya lebih membutuhkan.
***
Bandara Juanda Surabaya belum begitu ramai. Tanpa melalui antrean yang panjang, aku berhasil melakukan check in dan pemeriksaan bagasi. Tidak lama kemudian aku sudah menjatuhkan bokongku di ruang tunggu yang sebagian besar sudah ditempati beberapa penumpang. Untung saja aku mendapatkan apa yang kucari. Segera kukeluarkan charger ponsel untuk kusambungkan ke stop kontak yang tersedia.
Selama menunggu boarding, aku mengirimkan kabar ke Ghani. Laki-laki itu libur manggung hari ini, dan bisa menjemputku nanti di bandara. Sisanya waktuku kuhabiskan dengan scroll chat WA grup kantor, siapa tahu ada yang kulewatkan.
Tidak lama menunggu, airport announcement terdengar. Aku segera memasukkan charger dan berjalan di barisan antrean.
Semua proses pengecekan dokumen berjalan mulus, aku berjalan mengikuti orang-orang di depanku hingga tiba di pintu pesawat. Seorang pramugari dengan pakaian rapi membentuk tubuh membantu untuk menemukan kabinku. Aku pun segera duduk setelah mengucapkan terima kasih padanya.
“Permisi,” sapaan seseorang menyadarkanku. “Kursi saya dekat jendela.”
“Oh.” Aku langsung berdiri dan memberinya jalan masuk.
Dia seorang wanita yang mungkin lima tahun lebih tua dariku. Penampilannya terlihat trendi, dengan cincin bermahkota mutiara di jari manisnya. Awalnya aku mengira perempuan ini akan diam saja sepanjang perjalanan, ternyata dugaanku salah. Orangnya cukup ramah, selalu memancing topik obrolan denganku, hingga sampai ditahap dia menceritakan persoalan rumah tangganya.
“Usia pernikahanku memasuki tahun kesepuluh, Mba. Tapi belum juga dikaruniai anak,” ucapnya bersedih, sementara aku hanya mengangguk pelan. Tidak tahu ingin merespon apa.
“Karena itu, setahun yang lalu, aku mengijinkan suamiku untuk menikah lagi.”
Tanpa bisa mengontrol raut wajah, aku menoleh dengan cepat menghadapnya. Terkejut dengan fakta yang baru saja diucapkannya.
“Mengijinkan?”
Perempuan itu tersenyum sambil menggeleng ringan. “Bukan mengijinkan. Lebih tepatnya meminta beliau untuk menikah lagi.”
“Tapi… kenapa?”
Aku begitu heran dengan perempuan-perempuan yang mudah meminta suaminya untuk menikahi perempuan lain. Apa di dalam hatinya tidak menyimpan perasaan cemburu? Apakah semudah itu proses ikhlas?
“Karena saya tahu suami saya sangat mendambakan seorang anak, meskipun tidak pernah mengatakannya.”
Dari suara perempuan itu, aku mendengar nada pilu dan putus asa. Entah karena belum dikaruniai anak ataukah karena tidak memiliki pilihan selain membiarkan suaminya menikahi perempuan lagi.
“Maaf. Apa suami Ibu setuju?”
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu menunduk cincin manis di jarinya. “Awalnya tidak, tapi setelah kupaksa, akhirnya beliau mau.”
Wah, gila! Kebanyakan perempuan di luar sana justru rela mempertontonkan aib rumah tangganya karena diselingkuhi demi mengobati rasa sakit mereka. Dengan alasan ‘hancur bersama’. Sementara perempuan di sebelahku ini justru memaksa suaminya untuk membagi hati dan raga.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya