Tahun 2010
Garis wajah yang kubuat rasanya sudah cukup pas. Rambut yang membingkai terlihat mirip dengan aslinya. Sisa kutambahkan sedikit warna bergradasi untuk menyempurnakan keindahan karyaku ini.
Setelah mencampurkan warna-warna cat yang kuinginkan, segera kusapu dengan pola yang sudah kuinginkan. Dengan hati-hati aku menggerakkan kuas agar tidak keluar dari sketsa yang ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika sudah jadi, aku meletakkan kertas itu di atas meja, menunggunya kering secara natural. Semoga begitu kering nanti, hasilnya sesuai dengan apa yang aku inginkan. Mendadak hatiku berdebar-debar menunggu. Payah. Baru begini saja sudah membuatku berkeringat.
Pintu kamarku berbunyi, di baliknya ada Diandra yang melongokkan kepala. Begitu menemukanku, dia tersenyum ceria lalu masuk menghampiriku.
“Lagi ngapain? Ngegambar lagi?”
Aku sedikit gugup ketika saudaraku itu melirik kertas lukis yang kukeringkan. Kiranya tadi dia tidak akan peduli dan memilih cerita soal kejadian menarik di harinya seperti biasa, namun dia malah mendekati gambar yang telah kubuat.
“Kok mirip Mas Arya?” dia cepat menoleh padaku. Kernyitan di dahinya menandakan pertanyaan terselubung.
“Kan besok les terakhir kita. Aku mau ngasih hadiah sebagai kenang-kenangan,” ujarku berusaha bersikap tenang.
“Hmm… Harus banget pakai gambar?” tanyanya lagi.
Kali ini aku cukup lama terdiam, memikirkan jawaban yang tepat. “Aku ingin dia menyimpan sesuatu yang kubuat sendiri.”
Diandra memicingkan mata menggoda. “Kamu suka Mas Arya ya?”
Pertanyaan itu membuatku menganga. Paham jika aku dan Diandra memiliki ikatan yang lebih kuat karena kami memang terlahir kembar, dan ada kalanya hal itu memudahkan kami di berbagai kondisi, tapi tidak untuk sekarang. Dia bisa membaca perasaan yang selama ini berusaha kututup rapat-rapat.
“Hmm… kayaknya sebatas kagum aja sih.”
Diandra berjalan ke tepi ranjangku, lalu duduk di sana. “Masa? Nggak cemburu kalau dia dekat dengan perempuan lain?”
Aku membelakanginya, berpura-pura merapikan buku-buku di atas meja. “Kenapa harus cemburu? Toh aku nggak ada hubungan dengannya.”
Meskipun yang kukatakan ada benarnya, namun aku belum bisa membayangkan jika Arya benar-benar bersama dengan orang lain. Hubungan kami selama ini bisa dibilang dekat. Selama menjadi mentorku, aku lebih intensif bersamanya dibandingkan Diandra, mengingat dalam hal akademik aku memang selalu kurang dari saudaraku itu. Sampai Arya tidak hanya mengajarku tentang akademik saja, namun ikut memberikan motivasi dan memintaku untuk percaya dengan kemampuan yang kumiliki di luar dari jam pembelajaranku.
Semenjak itu kami selalu rutin chat saat malam hari. Di saat aku mengirimkan nilai terbaik yang kuperoleh, atau bahkan membahas hal random sebelum tidur. Jika kedekatan kami sudah seperti itu, apakah aku mampu menahan rasa cemburu jika dia ternyata menyukai perempuan lain?
“Perasaan itu harus diperjuangkan, Nay.” Kini Diandra mengubah posisi menjadi berbaring terlentang sambil memainkan telinga bonekaku. “Tapi untuk mendapatkan hati seorang Arya, sepertinya tidak mudah. Minimal harus setara lah dengan kehebatan yang dia punya.”
Aku menyandarkan bokongku di tepi meja, melipat kedua tangan dan mulai berpikir. Dengan kemampuan dan keunggulan yang kumiliki, apakah cukup untuk membuat Arya tertarik.
Selama ini banyak yang memujiku cantik. Meski memiliki tone kulit yang sama dengan Diandra, aku diberkahi dengan kondisi kulit wajah yang normal, tidak mudah berminyak seperti milik Diandra, yang kemudian membuatnya harus lebih ekstra dalam perawatan wajah untuk mencegah jerawatnya tidak membandel. Hanya saja, dibandingkan dengan kecerdasan. Aku jauh di bawahnya.
Diandra adalah pemegang juara umum di SMA kami dalam tiga tahun berturut-turut. Semua guru menyayanginya, teman-teman sekolah memujanya, hingga jika mau, dia bisa memilih pacar dengan mudah tanpa memiliki perasaan takut tidak terbalas sepertiku.
Sedangkan aku hanya gadis dengan nilai akademik biasa, bahkan sedikit kurang di beberapa pelajaran yang membutuhkan hitung-hitungan. Kesenanganku hanyalah melukis dari kecil, yang sayangnya tidak dinilai menjadi sebagai kemampuan yang membanggakan oleh rata-rata orang.
Pada sisi kepribadian pun aku di bawah Diandra. Kembaranku itu memiliki percaya diri yang tinggi, cekatan namun tetap anggun. Sementara aku adalah gadis yang ceroboh, mudah panik dan tentu saja memiliki kepercayaan diri yang rendah.
Lalu, dengan modal yang kumiliki, apa cukup untuk membuat Arya tertarik?
***
Ketika memasuki kamar, mataku langsung terpusat pada kotak yang sudah kubungkus rapi dengan pita berwarna merah hati di tengahnya. Itu adalah kado yang akan kuberi pada Arya sore ini. Berharap setelah memberikannya, dia tahu isi hatiku, dan tentu saja aku mengharapkan pertemuan hari ini bukan terakhir kali.
Segera kuambil kado itu, kudekap erat di dada dengan kegembiaraan yang meluap-luap. Kulangkahkan kaki menuju anak tangga dan gerakan kakiku berhenti tepat di ujung tangga, di ruang tamu nampak Arya sedang berbicara dengan Mama. Seperti melaporkan perkembangan bimbingan kami selama ini.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya