Aku tiba di bandara Soekarno Hatta International tepat pukul sembilan pagi. Tiap kali melewati pintu kedatangan, ingatanku selalu kembali pada masa pertama kali aku nekat menginjakkan kaki di Jakarta. Waktu itu Mama tidak bisa menemani, Diandra pun sibuk dengan urusan kampusnya.
Tahun demi tahun kulewati sendirian. Tidak pernah pulang bahkan sekalipun aku libur semester atau waktu perayaan hari keagamaan. Aku selalu beralasan sibuk ikut acara kampus, kegiatan pengembangan diri atau temu kumpul komunitas yang kuikuti.
Semua hanyalah kebohongan karena alasan sebenarnya adalah aku menghindari Arya dan Diandra. Tepatnya tidak ingin melihat kedekatan mereka. Hingga Mama harus menyempatkan waktunya untuk mengunjungiku tiap tahun yang mungkin saja beliau mengendus ketidakberesan hubungan antara aku, Diandra dan Arya namun memilih berpura-pura tidak tahu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seolah rasa sakit hati yang kualami karena merasa terkhianati itu belum cukup, tepat delapan tahun aku di Jakarta, ketika usiaku sudah memasuki 25 tahun, aku mendengar kabar menggembirakan untuk Diandra dan Arya, yang menjadi berita buruk untukku. Mereka memutuskan untuk menikah.
Aku begitu mengingat telepon Mama malam itu. Dari suaranya aku memahami bahwa penyampaianya dilakukan pelan-pelan, mungkin agar tidak melukaiku. Beliau memohon untuk aku menyempatkan waktu untuk pulang. Menghadiri hari kebahagiaan kakakku. Waktu itu aku tidak mengiyakan, aku tidak ingin menjanjikan apa pun.
Di luar dari perkiraanku, Diandra datang seminggu kemudian. Sendirian. Waktu itu aku masih menyewa apartemen, karena berbagi dengan temanku dapatnya lebih murah. Sosoknya membuatku kaget ketika membuka pintu di pagi hari saat aku libur kerja.
“Aku nggak mau dengar alasan lagi, pokoknya kamu harus datang,” ucapnya merengek kala itu, ketika aku memintanya masuk dan istirahat di kamarku.
Melihatku yang cuma terdiam sambil membereskan cucian yang menumpuk di keranjang, dia berubah menjadi mode serius. “Nay, kamu masih marah?”
Gerakanku terhenti. Paham maksud pembicaraannya mengarah ke mana. Selama ini kami memang tidak pernah saling terbuka untuk membahasnya, aku mengira perasaan kecewa ini akan menghilang seiring waktu, tapi nyatanya tidak semudah itu.
“Nay?” Diandra mendekatiku yang membelakanginya. “Kamu masih marah soal aku yang mendekati Mas Arya?”
“Apa aku punya alasan untuk marah?” tanyaku balik.
Diandra terdiam, menunduk sebentar lalu kembali menatapku. “Maaf, Nay.”
Aku melanjutkan beres-beresku. Kumasukkan cucian kotorku ke dalam kantongan untuk memudahkanku membawanya ke laundry.
“Nay.”
“Kamu mending pulang. Tenang aja aku akan datang.”
“Terima kasih, Nay.”
“Satu hal lagi. Aku sudah tidak marah. Kecewa, masih. Untuk itu jangan berharap keramahanku. Aku nggak bisa memaksa untuk bisa seperti dulu lagi.”
“Sekali lagi maaf, Nay.”
Aku mengangguk. “Pulang lah. Aku juga mau keluar sebentar lagi.”
Dan aku menepati janjiku. Aku menghadiri pernikahan mereka, namun langsung pulang begitu resepsi selesai. Aku sengaja untuk tidak begitu menghiraukan Arya yang selalu mengajakku mengobrol, menanyakan proses adaptasiku yang sendirian di Jakarta. Sebisa mungkin aku harus mengontrol atas campur aduknya perasaanku kala itu.
Lamunanku berhenti ketika suara yang kukenal memanggilku. Ghani berjalan cepat menghampiriku, memelukku erat.
“Kangen banget. Sori ya kamu nunggu lama? Nyari parkir susah banget.”
Aku menggeleng, menghadiahkannya senyuman. “Nggak sampai sepuluh menit kok.”
“Ya udah. Yuk!” Ghani mengambil alih gagang koperku dan menyeretnya. Memanduku berjalan ke arah parkiran.
Aku merasa bersalah. Selama berada di Surabaya, aku jarang menghubungi laki-laki ini. Bahkan aku melupakan kehadirannya selama ini di hidupku ketika bersama Arya. Namun Ghani tidak pernah mengeluh sedikit pun, katanya dia tidak begitu mencemaskanku jika berada di dekat keluargaku sendiri.
“Gimana Surabaya?”
Aku menghela napas. “Panas.”
Ghani tertawa ringan. “Ibumu?”
“Baik. Cuma ya gitu. Selalu sedih dengan kondisi Diandra.”
Kami tiba di parkiran mobil. Begitu menemukan punya Ghani, laki-laki itu memasukkan koperku di bagasi. Tanpa menunggunya aku membuka pintu depan lalu mendudukkan bokongku di kursi penumpang.
“Diandra gimana?” Ghani melanjutkan topik obrolan tadi begitu duduk di sebelahku, yang kujawab dengan gelengan ringan.
“Tapi aku masih sangat berharap kesembuhannya. Ada banyak yang belum kami selesaikan bersama.”
Ghani menatapku simpati, lalu menjangkau kepalaku dengan tangan kirinya, mengacak rambutku dan merapihkannya kemudian. “Pasang seatbelt-mu. Kamu boleh tidur, nanti aku bangunkan kalau sudah sampai.”
Aku pun memasang sabuk pengaman, lalu menurunkan sandaran kursiku. Tidak lama kemudian, kesadaranku mulai menghilang.
***
Sudah seminggu aku menjalani rutinitasku kembali. Berangkat pagi dan pulang malam. Kesibukan seperti ini memang terjadi tiap majalah bulanan di kantorku akan terbit, jadi aku sudah terbiasa dan sudah menikmatinya. Toh ritme kerjaan akan kembali ke semula jika sudah terbit.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, tepat di saat aku mulai merapikan meja kerjaku, ponselku yang berada dalam tas berbunyi. Aku mengambil dan melihat kontak mama di layar.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya