“Iya, Ma? Tumben nelepon jam-jam segini?” Sembari menjepit ponsel di telinga, aku meraih tas lalu menjinjingnya. Melangkah ke arah lift di pojok ruangan.
“Naya. Pulang, Nak. Diandra baru saja pergi meninggalkan kita.”
Ayunan kakiku terhenti. Aku semakin menempelkan ponsel di telingaku. “Gimana, Ma?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mamaku tidak menjawab. Hanya suara tangisan pilu yang kudengar beberapa saat.
“Diandra… meninggal.” Isakan Mama semakin keras. “Pulang, Nak.”
Seketika tubuhku menjadi lunglai, ruangan yang kutempati seolah berputar, dengan cepat aku memegang dinding di sebelahku, sebelum aku benar-benar ambruk di lantai. Beberapa temanku menghampiri, sebagian lagi melemparkan tatapan penuh tanya.
“Aku segera pulang, Ma.”
“Nay, oke kan?” tanya salah satu dari mereka begitu aku menutup panggilan.
Aku tidak menjawabnya. Dengan cepat dan tanpa menunggu keterangan lebih banyak, aku meninggalkan pijakanku, tergesa-gesa memasuki lift dan langsung memesan taxi online untuk pulang. Motorku kutinggal di kantor untuk sementara. Aku tidak bisa menyetir ditengah kondisi seperti ini, lagi pula aku harus segera memesan tiket pesawat dalam perjalanan pulang ke kontrakan.
***
Ketika mengaktifkan ponsel, beberapa laporan panggilan tidak terjawab dari Mama, pun chat-chat yang menanyakan keberadaanku. Selama menunggu koperku di pengambilan bagasi, aku menelepon dan menanyakan di mana Diandra akan disemayamkan. Mama kemudian memberiku alamat dimana taxi-ku kini menepi.
Rumah Diandra cukup ramai. Semua mengenakan pakaian serba gelap. Beberapa kukenali masih keluarga jauh, sisanya aku tidak tahu. Mungkin kenalan Diandra, atau relasi Arya. Yang kuperhatikan, ketika melihatku turun dari mobil, pelayat menatapku dengan mata bertanya-tanya. Mungkin mereka tidak tahu jika Diandra memiliki saudara kembar.
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah, melewati sekumpulan orang di ruang tamu. Begitu sekat yang menghubungkan dengan ruang tengah kulewati, terlihat di mataku sosok yang terbaring di tengah-tengah dengan kain yang menutupi sekujur tubuh. Di sisinya ada Mama dan Arya yang memeluknya.
Begitu menyadari kehadiranku, Mama langsung berdiri menghampiri lalu memelukku. Tubuhnya bergetar karena tangisan, pelukannya sangat erat, seolah akan meremukkan badanku. Aku tidak bisa membalas pelukan dan menenangkannya, sebab saat ini aku masih tidak percaya Diandra akan pergi secepat ini.
Ketika pelukan Mama mulai melemah, aku berjalan dengan pelan. Menghampiri Diandra yang menutup mata seperti tertidur. Aku bersimpuh di sisinya, memegang sisi tubuhnya dengan tangan yang gemetar, lalu karena tidak bisa menahan lagi, aku memeluk dan membaringkan kepalaku di bagian dadanya.
Seketika momen-momen kebersamaan kami sejak kecil hingga remaja seolah ditampilkan di depan mataku, seperti film di layar bioskop. Saat aku mengajarinya mengendarai sepeda, saat dia membelaku dari gangguan teman yang bandel atau pun saat teman-teman sekolah membandingkanku dengannya.
Yang paling kusesali dan sepertinya akan selalu membayangiku adalah hubungan kami yang belum membaik seperti seharusnya. Diandra pergi tanpa mendengar kata maafku. Mendengarkan bahwa sesungguhnya aku sudah merelakan hubungannya dengan Arya sejak mereka memiliki anak.
Mungkin aku akan masih memeluknya seandainya saja sepasang lengan tidak membangunkanku. Mataku menemukan Arya, yang balik menatapku penuh keteduhan.
“Diandra mencarimu di detik-detik kepergiannya. Dia hanya mengatakan ‘Naya’ dan ‘maaf’.”
Hatiku semakin perih mendengar fakta itu. Aku kembali menatap wajah Diandra yang terlihat damai. Aku kehilangan lagi. Setelah kepergian Ayah, aku mengalami sakit itu lagi.
***
Sepulang mengantarkan Diandra ke peristirahatan terakhirnya, aku baru melihat anak-anaknya. Dijaga oleh mamaku yang memang tidak dibiarkan ke pemakaman karena ditakutkan akan tumbang di sana.
Hime langsung memelukku begitu aku memasuki kamarnya. Sementara Ren hanya berdiri di sisi kasur, menatapku yang menunduk untuk membalas pelukan adiknya. Aku baru menyadari sosok Arya di sudut ruangan ketika aku kembali berdiri tegak dengan Hime yang kini berada di gendonganku.
“Ibu mana?” Tanya Ren padaku begitu aku berjalan dan duduk sambil memangku Hime.
Aku melirik Arya, yang tidak terkejut dengan pertanyaan anaknya. Tentu saja aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Lagian orang yang pantas menjawab pertanyaan itu adalah ayahnya. Bukan aku.
“Tadi Ibu tidur di sana. Tapi kenapa nggak balik-balik?” Hime mengangkat kepala, kedua matanya menatapku penuh tanya. Mata yang persis sama dengan milik Diandra. “Kamu kayak Ibu.”
“Hime. Tante Naya saudaranya Ibu.” Bukannya menjawab pertanyaan anak-anaknya, Arya justru menjelaskan statusku.
“Tante Naya, ibuku ke mana?” Hime mengulang pertanyaan kakaknya. Sementara itu Ren sudah berjalan ke arah Arya dan meminta gendong.
Melihat mereka membuatku kembali bersedih. Dengan sekuat tenaga aku menahan tangisku. Aku semakin mengencangkan pelukanku ke tubuh Hime, menyembunyikan wajahku ke rambutnya yang hitam legam. Seolah mengerti kondisi emosiku, Hime menepuk-nepuk punggungku dengan pelan, mengusapnya lembut.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya