Dua hari setelah Diandra pergi, aku kembali ke Jakarta. Atasanku tidak bisa lagi memberiku toleransi ijin, meski aku sudah membujuknya agar bisa memberiku alternatif untuk menyelesaikan pekerjaan di Surabaya. Kini tanpa terasa memasuki delapan bulan sejak kepergiannya.
Selain Mama, ada lagi yang memberatkanku untuk segera balik ke Jakarta. Hime dan Ren. Aku masih berpikir keras akan bagaimana hidup mereka. Pernah aku mengusulkan ke Arya untuk mencarikannya pengasuh, namun laki-laki itu lebih memilih anak-anaknya diasuh sementara oleh neneknya, ibunya Arya.
Tidak ingin kembali larut dalam kesedihan, aku mengambil handuk lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi. Rasanya kepalaku menjadi berat seharian karena pekerjaan, aku ingin keramas lalu istirahat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika sedang mengeringkan rambut, bel rumahku berbunyi. Seketika aku menjadi waspada, sebab tidak biasanya ada yang bertamu di jam sembilan malam begini, juga tidak mungkin Ghani, karena laki-laki itu pasti akan mengabari lebih dulu jika ingin datang.
Bel kembali berbunyi. Dengan segera aku menggulung kabel hair dryer lalu memasukkannya ke laci meja riasku. Setelah mengambil ponsel di tengah kasur, aku segera keluar kamar dan menuju pintu luar.
Betapa kaget ketika sosok yang kutemui di baliknya adalah Arya, yang berpenampilan formal namun terlihat lusuh. Pikiranku menebak-nebak ada perlu apa laki-laki itu berada di Jakarta, terlebih sekarang di rumahku.
“Mas? Kok bisa di sini?”
Arya tersenyum tipis, sorot matanya terlihat lelah. “Aku ada kerjaan tadi siang. Ketemu klien, jadi sempatkan mampir. Nggak pa-pa kan?”
Sejenak aku lupa bereaksi. Otakku seperti masih memproses korelasi bertemu klien dengan menyempatkan mengunjungiku. Maksudku rasanya aku tidak memiliki urusan dengannya, dan hubungan kami tidak bisa dibilang dekat yang menjadikan kami selalu saling berkunjung jika berada di kota masing-masing.
“Ng… nggak pa-pa sih.” Aku menggigit bibirku. “Hm… mau masuk atau duduk di sini aja?”
Entah Arya menangkap kebingunganku atau bagaimana, dia memilih mendekati kursi teras dan duduk di sana. “Di sini saja. Nggak enak sama tetangga kamu.”
Sepertinya desah napas lega yang kuembuskan terlalu keras hingga Arya menoleh menatapku dan tertawa ringan. Karena suasana mendadak canggung, aku memaksa ikut tertawa lalu duduk di kursi sebelahnya.
“Sampai di sini jam berapa, Mas?”
Ya, aku tahu. Pertanyaanku adalah pertanyaan basa-basi level standar. Tapi apa lagi yang harus kutanyakan sementara aku masih menerka-nerka alasan keberadaannya di sini. Betul ingin mampir, tapi kenapa harus melakukan itu?
“Sekitar jam sepuluh mungkin. Ketemu kliennya sampai malam, jadi baru sekarang bisa ke sini.”
Aku berdeham. Jika aku menanyakan tujuannya ke sini, apakah aku masih terlihat sopan?
“Kamu pasti bingung kenapa aku ke sini.”
Nah, itu tahu. “Bingung juga sih. Karena Mas Arya ngga pernah ke sini. Mama yang ngasih alamatku?”
Laki-laki itu mengangguk. Menatap berbagai tanaman di halamanku. “Ngomong-ngomong, nggak ada yang marah kan kalau aku ke sini?”
“Ya… paling resiko dighibahin tetangga kalau Mas Arya sampai tengah malam.”
Arya kembali tersenyum tipis. “Ternyata kamu nggak berubah, Nay.”
Aduh. Apa maksudnya? Seolah dia paham watakku saja. Berinteraksi denganku pun tidak sampai setahun, hanya saat dia menjadi guru lesku dulu.
“Kalau berubah itu Power Rangers, Mas,” candaku, tentu saja lagi-lagi dibalas tawa olehnya. Ya, terus saja tertawa! Otakku benar-benar sudah buntu untuk dibuat berpikir lebih keras.
“Pertanyaanku serius, Nay.”
“Jawabanku dari tadi juga serius kok, Mas.”
Mata Arya kini menatapku lekat, seolah sedang berpikir berapa nilai yang pantas atas jawabanku. “Benar nggak ada yang marah? Cowokmu?”
“Ghani orangnya santai kok.”
“Oh, namanya Ghani?”
Oke. Jadi dia datang ke sini hanya untuk mengulik persoalan asmaraku? Kalau begitu dia tidak perlu capek-capek berkunjung. Cukup menelepon dan aku akan mejawab sebisaku.
“Lalu Mas Arya mau tahu apa tentang Ghani?”
Arya terlihat gelagapan, namun dengan cepat mudah menguasai keadaan. “Bukan. Bukan soal itu. Aku ke sini ingin membahas soal omongan Diandra waktu itu.”
Dahiku terlipat, mencoba mengingat omongan Diandra mana yang Arya maksud. “Yang mana ya, Mas?”
“Soal nikahin kamu.”
Refleks aku menggenggam kedua tanganku, tidak menyangka Arya akan mengingat obrolan yang kuanggap sebagai angin lalu itu.
“Oh, itu. Nggak usah dipikirkan, Mas. Mungkin waktu itu Diandra tidak serius, pengaruh dari obat mungkin.”
“Bagaimana jika aku menganggap omongannya serius?”
Aku menahan napas, namun jantungku berdetak lebih cepat. Napasku terasa berkejaran padahal aku hanya duduk dan tidak melakukan aktivitas berat. Untuk meredakan itu semua, aku menggigit bibirku. Reaksi yang menjadi kebiasaan ketika aku cemas dan deg-degan dalam waktu bersamaan.
“Tidak mungkin Diandra menginginkan itu, Mas.”
“Kenapa tidak?”
Aku menggeleng cepat. “Intinya aku tidak menganggap Diandra benar-benar menginginkan aku menjadi penggantinya. Lagian aku juga memiliki kehidupan sendiri.”
“Bersama Ghani maksudmu?”
Entah aku yang delusi ataukah memang benar, setiap menyebutkan nama Ghani, Arya seperti menahan sesuatu, seolah pacarku adalah seekor nyamuk yang suaranya menyebalkan di malam hari. Wah, belum tahu saja dia betapa memikatnya suara Ghani jika bernyanyi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya