“Dengan siapa pun nanti, aku tetap tidak menganggap permintaan Diandra itu serius, Mas.”
“Lalu bagaimana jika aku sendiri yang memintamu untuk menggantikan Diandra?”
Aku semakin terkejut. Kini mulutku sudah melongo, entah seberapa panjang diameternya. Semoga tidak cukup untuk kemasukkan nyamuk-nyamuk yang kini mulai menggigit betisku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ha? Gimana?”
“Aku yang menginginkan kamu menjadi istriku. Menjadi ibu dari Ren dan Hime.”
Cukup lama aku terdiam, mengusap-usap kakiku yang sudah gatal karena digigit nyamuk.
“Semoga nyamuk itu nggak jadi alasan kamu menghindari pertanyaanku, Nay.” Intonasi suara Arya mulai keras, meski tidak bisa dikatakan membentak. Mungkin karena selain lelah dengan kerjaan, kini kesabarannya benar-benar diuji olehku.
Aku melirik tajam ke arahnya. “Galak banget sih.”
“Maaf. Nggak bermaksud.”
“Aku harus tahu dulu alasanmu memintaku. Kalau hanya mau mencari ibu untuk Ren dan Hime, nggak harus aku kan?”
“Harus kamu. Karena cuma kamu yang aku dan Diandra percayai.”
“Kenapa begitu?” tantangku.
“Karena kamu tidak mungkin bisa menyakiti mereka.”
Jahat. Arya memanfaatkan kelemahanku yang tidak bisa menolak anak-anaknya. Aku memang selalu mencari tahu kabar dan perkembangan mereka ke Mama sejak mereka lahir, dan Diandra tahu itu. Bahkan Diandra kerap mengirimkan video kelucuan Ren dan Hime meski aku tidak pernah membalasnya. Dia sangat tahu, hubungan burukku dengannya tidak akan mempengaruhi rasa sayangku pada anak-anaknya.
Tapi menikah hanya karena aku yang mereka percayai sebagai pengganti Diandra, ya tidak adil juga bagiku. Aku tidak memiliki pengalaman dalam hal mengasuh anak, terlebih Ren dan Hime sudah berusia lima tahun, tentu saja pola asuh Diandra sudah melekat dalam diri mereka. Jika aku salah langkah, kemungkinan besar mereka sulit menerima, atau justru aku yang kebingungan.
Belum lagi mejadi istri seorang Arya, kakak iparku sendiri. Duh, aku tidak pernah membayangkan, bahkan dalam mimpi terburuk pun akan menikahi seorang duda. Kata orang-orang, kalau bisa jangan menikah dengan laki-laki yang pernah memiliki pasangan di masa lalu. Resiko untuk dibandingkan atau diharapkan sama dengan pelayanan istri terdahulu cukup besar.
Hanya saja aku pun memikirkan hal lain. Tidak munafik jika aku masih menyimpan rasa pada Arya, dan sampai sekarang aku masih meyakini jika dia adalah laki-laki yang baik dan bisa berkomitmen.
Jangan memintaku untuk membandingkannya dengan Ghani. Sementara akan kusimpan alasan mengapa aku tidak meyakini dia akan menjadi pendampingku kelak.
“Jadi bagaimana?”
Aku tersentak oleh pertanyaan desakan Arya. Lalu sedikit memiringkan dudukku untuk bisa melihatnya.
“Kalau aku bersedia, apakah Mas Arya akan memperlakukanku sama sewaktu dengan Diandra?”
Arya diam sejenak, memandangku lekat, seolah sedang mengira-ngira ukuran diameter bola mataku. Jangan tanya, bagaimana gugupnya aku. Bahkan seorang Ghani yang menjadi kekasihku tidak pernah memberikan tatapan sejenis itu.
“Tentu saja aku akan memperlakukanmu dengan cara terbaik yang aku bisa,” ucapnya akhirnya.
Menyerah ditatapi seperti itu, aku meluruskan kembali dudukku. Berpura-pura memperhatikan cat pagar rumah yang sudah usang. Mengutuk mengapa tidak satu pun kendaraan yang lewat.
“Kasih aku kesempatan untuk berpikir kalau begitu. Aku harus berbicara dengan Mama.”
“Karena aku sudah berbicara dengan Mamamu, makanya aku berani ke sini.”
Aku menoleh kaget. “Ngapain Mas Arya ngomong ke Mama dulu?”
Kedua kening laki-laki itu menyatu, tampak berpikir. “Lalu harus ke mana kalau aku ingin melamarmu? Bukannya memang sama Mamamu?”
“Kalau aku menolak Mas Arya malam ini juga, bagaimana?”
“Berarti aku akan membujuk mamamu supaya mau meyakinkanmu,” jawabnya santai. Sorot matanya terasa hangat, menyebabkanku kembali disergap rasa malu.
Tentu saja dia bisa sesantai itu karena tidak menyadari perasaanku. Tidak pernah tahu jika aku diam-diam menyukainya sejak dulu. Apakah semudah itu dia meminta perempuan yang tidak dicintainya untuk dijadikan istri?
Malam itu Arya pulang tanpa mendapat jawabanku. Aku memintanya untuk pulang dengan alasan sudah mengantuk. Padahal alasan sebenarnya adalah aku mencegah jantungku bekerja keras, karena sejak kedatangannya organ tubuhku itu berdetak keras tidak terkontrol
***
Malam Minggu. Kebetulan Ghani tidak memiliki jadwal manggung, pun aku memiliki mood untuk keluar jalan. Kami berencana ke tempat makan yang sudah lama tidak kami datangi. Menu mie ayamnya tidak terkalahkan, selain itu Ghani suka dengan suasananya yang ramai tapi tidak bikin gerah.
“Jadi apa yang ingin kamu ceritakan?”
Begitu sudah memesan dua porsi makanan, aku dan Ghani memilih duduk di bangku yang berada di sudut ruangan dengan posisi hadap-hadapan.
“Soal kita.”
Ghani yang tadinya beralih melihat layar ponselnya kembali menatapku. Sepasang matanya bergerak-gerak bertanya.
“Kita? Kenapa dengan kita?”
“Kamu masih belum bisa komitmen?”
Lak-laki di hadapanku tertegun, lalu menyimpan ponsel di sisi kanannya. Kini fokus mendengarku.
“Kamu nggak berpikir kita akan menjalani hubungan yang seperti ini terus kan? Hubungan kita nggak berkembang, Ghan.”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya