Ghani meraih jemari kananku, memilinnya satu-satu. “Kamu nggak mau nunggu, Nay?”
Aku menatap laki-laki itu lekat-lekat. “Kalau kamu ngasih aku batas waktu sampai kapan aku harus nunggu, aku mau nunggu.”
Sorot mata Ghani menandakan kekalahan. Jariku yang berada dalam genggamannya terurai lepas. “Kamu tahu jawabanku, Nay.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku menghela napas. Memperhatikan keringat kecil yang muncul di dahinya. “Aku nggak maksa. Dan aku nggak mau ngasih kamu beban dengan permintaanku.”
“Kamu udah ada yang lamar?” tanyanya pelan-pelan.
Karena merasa bersalah, aku memalingkan pandanganku dari wajah ke pakaian yang dikenakannya malam ini. Kaos polos berwarna putih. “Arya.”
Ghani terdiam cukup lama, hingga mangkuk mie ayam kami sudah datang. Setelah mengucapkan terima kasih ke pelayan, aku memperbaiki posisi mangkuk di depan laki-laki itu, mengambilkan sendok dan garpu.
“Aku nggak bisa menang dari dia kan?”
Aku menggeleng pelan. “Bukan begitu. Kalaupun dia nggak minta aku, pasti aku akan tetap ngomongin hal ini ke kamu. Sisa nunggu waktu aja. Nggak mungkin aku akan seperti ini terus.”
“Benar. Lagian aku yang dulu pernah bilang, kalau aku masih belum bisa sementara kamu sudah ada yang lamar, maka aku akan lepasin kamu. Tapi tetap saja ternyata nggak semudah itu, Nay.”
Rasanya tidak tega melihat Ghani seperti ini, karena aku menyayanginya, meski bentuk rasa sayangku tidak sebesar dan seistimewa ke Arya. Aku seperti perempuan jahat yang mempermainkan perasaannya.
“Maafkan aku, Ghani.”
“Nggak. Bukan kamu yang salah. Salahku tidak pernah memberimu kepastian.”
“Dan aku nggak mau memaksa kamu. Buat apa kita menikah tapi kamu tidak nyaman dengan hubungan seperti itu?”
Ghani adalah anak yang lahir dari keluarga yang tidak harmonis. Ayahnya pelaku tindakan kriminal, membunuh ibunya sewaktu dia masih kecil hingga Ghani harus dirawat oleh bibi dan pamannya. Peristiwa kelam yang dia lalui menyebabkan luka batin yang membuatnya tidak menyukai sebuah komitmen pernikahan. Itu sebabnya aku merasa tidak memiliki masa depan bersamanya.
Sedangkan aku tidak ingin memaksa dia untuk menikahiku, terlebih setelah aku melihat usaha dia konsultasi dengan psikolog untuk menyembuhkan traumanya selama dua tahun. Namun ternyata tidak semudah itu. Jika membicarakannya saja membuatnya keringatan seperti itu, lalu apa yang aku harapkan?
Part sebelum dan selanjutnya -> Nayanika