Pernikahanku benar-benar berlangsung secara sederhana meski dilakukan di gedung mewah. Yang diundang hanya keluarga dan beberapa kerabat saja. Arya bahkan tidak mengundang kolega bisnisnya. Sementara aku masih mengundang teman-teman SMA yang masih berkomunikasi denganku hingga sekarang.
Arya begitu terlihat berwibawa hari ini, dengan jas biru tua yang menyelimuti kameja berwarna putih, sangat pas membentuk tubuhnya yang bugar. Serasi dengan kebayaku yang berwarna putih dengan semburat cokelat muda.
Ayah dan ibunya berada di sisi kanan pelaminan, mengenakan pakaian yang seragam dengan Mama dan pamanku yang berada di sisi kiriku. Mereka terlihat cekatan menyapa tamu yang lebih banyak tidak kukenali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara Ren memakai jas yang kembaran dengan ayahnya, dan Hime mengenakan gaun selutut yang warnanya senada denganku. Rambutnya dicepol dengan poni yang melengkung dan mengikuti bentuk wajahnya yang bulat. Mereka terlihat menggemaskan. Dan mereka adalah anak-anakku sekarang.
Sudah dari tadi Ren dan Hime ingin bergabung denganku dan Arya di tengah-tengah pelaminan, mereka tampak tertarik dengan hiasan bunga artificial yang berada depanku. Belum lagi lampu hias yang digantung dari langit-langit atap.
Arya tiba-tiba mendekatkan wajah ke telingaku dan berbisik. “Kamu keberatan nggak kalau Ren dan Hime ke sini?”
Tentu saja aku spontan menggeleng. Kenapa harus keberatan? “Panggil mereka ke sini.”
Begitu mendapat lambaian tangan dari Arya, si kembar yang tadinya berada di pangkuan kakek dan neneknya berteriak senang, segera meloncat turun lalu mendekati kami. Hime memegang tanganku, meminta untuk diambilkan bunga berwarna putih di depanku.
“Hm, itu plastik, Sayang. Gimana kalau yang ini?” tunjukku pada bunga melati yang ada di sanggulku. “Ini harum loh. Mau?”
Hime mengangguk dan menatap antusias. Ketika melati sudah di tangan, dia menghirup wanginya lalu tersenyum cerah. Dia kemudian mendekatkan tubuhny untuk meminta dipangku.
“Harum nggak?” tanyaku setelah mendudukkannya di pangkuanku. Anak itu kembali mengangguk ceria.
“Aku mau naro di kepalaku juga,” bisiknya malu-malu.
Aku tertawa ringan lalu memasangkan ke cepolannya. “Ambil lagi satu. Yang gede.”
Hime terlihat senang ketika aku menunduk dan membolehkannya mengambil bunga lagi. Kali ini ukurannya lebih besar dari yang tadi. Sementara itu, kulirik Ren memperhatikan kami, terlihat menatapku ragu-ragu.
“Mau juga?” tanyaku padanya.
Bukannya menjawab, Ren justru menggeleng cepat lalu membalikkan badan menghadap Arya dan memeluknya. Oh, anak ini sepertinya masih gengsi padaku.
“Kamu malu ya, Ren?” tanya Hime pada kakaknya.
“Nggak. Aku memang nggak mau kok.”
“Dia malu kan, Yah?” Hime kali ini meminta pengakuan dari ayahnya.
“Nggak. Aku nggak malu, Yah.” Ren sudah memasang wajah cemberut, bibirnya mengerucut menatap tidak suka pada Hime.
“Hime, jangan diganggu kakaknya.” Arya menengahi pertengkaran kecil mereka dengan sabar.
Hime hanya tertawa senang karena berhasil menggoda Ren. Lalu beralih menatapku penuh tanya. “Tante, kenapa bunga itu baunya harum?”
Aku paham anak seumuran Hime dan Ren adalah masa disaat aspek kognitif sedang berkembang secara pesat-pesatnya. Sangat wajar jika mereka sering bertanya suatu saat nanti. Untung saja sebelum menikah, aku mencari tahu kebiasaan anak dan perkembangan apa saja yang dialami mereka di saat usia seperti sekarang.
“Karena bunga itu punya minyak harum di dalamnya.”
Kali ini aku bisa lega karena pertanyaan Hime masih bisa kujawab. Aku memang menyukai tanaman dan bunga, jadi sedikit tahu soal ini.
“Kamu suka bunga?” tanyaku pada Hime, yang dijawab anggukan olehnya. “Nanti kita tanam banyak bunga ya di rumah?” lanjutku.
“Beneran kita akan menanam bunga?” tanya Hime antusias. Sepasang matanya semakin bulat sembari menunggu jawabanku.
“Iya dong. Kita tanam banyak bunga nanti. Senang kan?”
“Yeay! Ren! Nanti aku mau nanam banyak bunga yang banyak.”
Aku tertawa geli, memang salah satu hobi anak-anak itu suka pamer pada saudaranya. Dulu aku dan Diandra juga begitu. Lalu berantem, dan berbaikan lagi. Aku yakin Hime dan Ren pun begitu.
“Aku juga mau bikin pesawat-pesawat bareng Ayah. Yang banyak. Ya kan, Yah?” ucap Ren tidak mau kalah.
“Pesawat mulu. Bosan tau,” timpal Hime.
“Hime.” Lagi-lagi Arya menegur, yang justru membuat Hime cekikikan senang.
Arya menatapku penuh arti, seolah meminta pemakluman pada tingkah anak-anaknya, aku hanya mengangguk mengulum senyumku.
Mulai hari ini, aku akan melekat dengan mereka. Menerima kebandelan, kenakalan, serta kelucuan mereka. Mungkin saja suatu saat nanti akan terjadi hal-hal di luar nalarku, namun aku yakin bisa mengatasi semua. Tentu saja jika mendapat dukungan dari suamiku, Arya.
Mendadak aku malu sendiri mengakui Arya sebagai suamiku. Meski tidak kuucapkan, namun ternyata cukup menggelikan perubahan status yang terjadi hari ini.
Aku hanya berharap pernikahanku akan berlangsung untuk selamanya. Hingga salah satu di antara kami dipanggil Yang Kuasa lebih dulu.
***
Selepas akad sekaligus resepsi, aku dibawa Arya untuk pulang ke rumahnya setelah mengambil koper-koper dan barang-barangku di rumah Mama. Untung saja semua pakaianku sudah dikemas Mama semalam, karena aku sudah tidak bisa berpikir apa saja yang harus aku bawa saking deg-degannya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya