Sekitar lima belas menit, rambutku sudah kering. Dengan ragu aku mengenakan gaun berwarna navy sepanjang paha atas dengan tali tipis yang menempel di kedua bahuku agar tidak melorot. Gaun itu begitu kontras dengan warna kulitku yang kuning langsat, juga cocok dengan ukuran tubuhku. Bahannya yang satin mengikuti lekuk tubuhku dengan sempurna. Entah ini sebuah karunia atau bencana.
Aku mematut diri di depan kaca. Mengamati wajahku yang berbentuk oval, dengan sepasang alis tebal dan mata yang sayu. Aku selalu bersyukur dengan gen yang diturunkan Mama untukku, karena dari sekian hal yang membuatku insecure, wajahku bukan salah satunya. Hanya saja, aku tidak bisa menggunakan kecantikanku untuk meningkatkan rasa percaya diriku di depan Arya, dengan Diandra sebagai pembandingnya.
Kuusir dengan cepat pikiran buruk yang menggangguku. Agar aku tidak begitu memalukan di malam pertama pernikahanku, kuambil handuk piyama kering di rak atasku, lalu memakai untuk melapisi gaunku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu aku keluar kamar mandi, Arya belum tidur. Laki-laki itu bersandar di kepala ranjang dengan bantal sebagai sanggahannya. Aku cepat-cepat ke meja rias dan memakai perawatan kulit yang sebelumnya kusimpan di sana.
“Kamu oke dengan suhu AC-nya?” suara Arya terdengar di belakangku.
“Oke kok,” jawabku berusaha santai, padahal di dalam sana jantungku berdegup cepat.
Setelah rangkaian produk perawatan sudah selesai, aku melangkah dengan pelan ke sisi Arya, menyibak selimut dengan tangan yang canggung.
“Kok pakai handuk?”
“Hm?”
Arya menatap handuk piyama yang kukenakan, bergantian dengan menatap wajahku.
“Kok pakai handuk?” ulangnya.
“Ng… anu.” Aku menggigit bibir bawahku. “Itu, Mas. Bajunya… bajunya nggak ada.”
Dahi Arya mengerut. “Nggak ada gimana?”
Lagi-lagi aku menggigit bibirku, gelisah bercampur malu. “Baju tidurku tuh yang siapin Mama. Aku nggak tahu kalau yang disiapin tuh kayak gini.”
Tampaknya Arya semakin bingung dengan jawabnku yang berputar-putar. “Kayak gimana?”
Dengan berat hati dan menahan rasa malu, aku membuka handuk, menampilkan gaun sialan itu. Ugh! aku berdoa semoga aku tidak terlihat seperti wanita-wanita penggoda.
Arya tertegun sejenak, kemudian berdeham sambil memalingkan wajahnya. Reaksi itu membuatku semakin malu. Aku pasti sudah seperti perempuan yang ingin segera digagahi malam ini juga.
“Kamu tidak membawa kaos rumah?” tanyanya. Tatapannya berusaha menghindariku.
Aku menggeleng, masih menunduk malu.
Arya bangkit dan turun dari ranjang. Laki-laki itu berjalan menuju lemari dan mengambil kaos berwarna putih polos di sana.
“Pakai ini saja dulu. Besok kita belanja,” ucapnya sambil menyodorkan kaos.
Tanpa menunggu lama aku meraihnya. “Makasih, Mas.”
Arya hanya mengangguk. “Aku keluar sebentar. Mau nelepon Ibu buat nanya kabar anak-anak. Kamu tidur duluan saja.”
Ketika Arya sudah tidak terlihat, aku menghela napas. Entah karena lega atau kecewa. Lega karena kemungkinan Arya paham kalau membawa pakaian itu bukan mauku, atau kecewa karena Arya sama sekali tidak tertarik padaku dan lebih memilih menelepon Ibu dan anak-anak.
Malam pertama yang tidak seindah kisah fiksi di novel dewasa yang pernah kubaca.
Part sebelum dan selanjutnya -> Nayanika