Hari pertama aku menjadi ibu untuk Ren dan Hime. Karena semalam tidur di rumah ibu mertuaku, pagi sekali mereka diantar sopir dan langsung mandi. Tugas pertamaku adalah menyiapkan sarapan dan membantu mereka memasang pakaian seragam. Sedikit ribet, karena ada dua anak sekaligus, tapi ternyata menyenangkan juga. Bagian paling kusuka adalah saat Ren yang malu-malu memintaku memasangkan jam tangan berbentuk pesawat di tangan kanannya. Menggemaskan.
Hal menyenangkan lainnya adalah ketika Hime memintaku merapikan rambutnya dengan kepang di kedua sisi belahan, lalu menyempurnakan dengan jepitan lucu dari kotak aksesorisnya. Kata Arya, Hime tidak suka jika model rambutnya disamakan di hari yang berturut-turut. Maunya dalam seminggu, dia memiliki model rambut yang berbeda. Hal ini menyebabkan aku harus mencari referensi lebih banyak dan menyimpan tutorialnya di hapeku.
Setelah keduanya selesai sarapan, Arya mengantar kami ke PAUD anak-anak. Dia akan menjemput saat jam pulang sekolah. Arya juga berpesan untuk tidak sembarangan membelikan si kembar jajan, karena mereka mudah batuk setelah minum yang manis-manis. Aku mencatat semua pesan itu di kepalaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah turun dari mobil, aku memegang Ren dan Hime, dengan posisiku berada di tengah-tengah. Ketika tiba di gerbang sekolah, seorang bapak penjaga menyapa kami, mempersilahkan memasuki laman.
Mataku menemukan seorang wanita yang tampak seusia denganku, tersenyum ketika kami mendekat.
“Selamat pagi, Ren. Hime.”
“Selamat pagi, Bu Aulia,” jawab Ren dan Hime bersamaan.
“Wah, Hime. Rambutnya cantik banget. Siapa yang kepangin?”
Hime tersenyum ceria, lalu memeluk lenganku. “Tante Naya.”
Ibu Aulia kini menatapku lurus, kesempatan aku mengenalkan diri dengan mengulurkan tangan. “Saya Naya, Bu Aulia. Mulai sekarang, saya yang akan menemani Ren dan Hime.”
Ibu Aulia menyambut uluran tanganku, tersenyum menampilkan deretan gigi yang rapih. “Salam kenal. Saya senang anak-anak diantar lagi sama ibunya.”
Oh, rupanya guru si kembar sudah paham dengan pernikahanku dan Arya. Mungkin saja ibu mertuaku yang memberitahukannya. Sebelum kami menikah, anak-anak memang ditemani oleh neneknya.
“Iya, Bu. Terima kasih. Kalau ada sesuatu hal yang sekiranya penting, tolong saya dikabari.”
“Nanti kami masukkan ke grup obrolan ya, Bu.” Ibu Aulia kembali menatap Ren dan Hime. “Yuk, udah siap masuk kelas?”
“Yuk!” teriak Hime, sementara Ren hanya mengekori masuk ke ruangan mereka.
Aku menatap sekelilingku, mendapati taman yang sudah disiapkan oleh beberapa orangtua dan pengasuh untuk menunggu. Kulangkahkan kaki untuk bergabung, menyapa beberapa di antara mereka.
“Ibu barunya kembar ya?” tanya perempuan yang memakai tunik berwarna biru.
Aku tersenyum sambil duduk di kursi yang masih kosong. “Betul, Bu. Saya Naya.”
“Tapi kok mirip banget ya sama Mba Diandra? Saya kira tadi dia loh,” ucap salah satu di antara mereka. Kali ini perempuan bertubuh mungil dengan wajah bulat.
“Iya ya? Mirip banget,” timpal yang lain.
“Kami memang kembar,” jawabku masih dengan senyuman.
“Ooooh, turun ranjang.” Tanpa dikomando, mereka menegaskan secara bersamaan. Aku sampai kagum terpana, betapa luar biasanya chemistry mereka.
“Enak ya? Udah dapat kakaknya, sekarang dapat adeknya,” kata ibu-ibu pemakai tunik.
Aku paham mereka sedang bercanda, tapi kok nada suaranya sudah tidak enak didengar ya? Duh, jangan bilang mereka sekumpulan ibu-ibu julid yang gemar mengurusi urusan rumah tangga orang lain. Bagaimana cara Diandra mengatasinya dulu?
“Mba Diandra dulu tuh baik banget loh, Mba. Dia sering ngasih info seputar kesehatan secara gratis. Dokter kan dia?” Tanya pemilik tubuh mungil.
“Iya,” jawabku singkat. Masih berusaha tersenyum ramah, meski yang terlihat mungkin adalah ringisan.
“Kalau Mba kerjanya apa?” salah satu dari mereka bertanya lagi.
“Saya illustrator, Bu. Sekarang sudah nggak kerja kantoran lagi, nerima kerjaan dari rumah.”
“Ooohh. Ngegambar-gambar gitu ya?” tanya si tubuh mungil kembali, yang kujawab hanya dengan anggukan.
Melihatku yang sudah tidak antusias diwawancara, mereka memilih beralih topik pembicaraan. Mungkin tidak ada yang menarik dari diriku, atau profesiku tidak memberikan keuntungan bagi hidup mereka? Entahlah.
Aku memilih mengeluarkan ponsel, lalu mengirimkan pesan ke Arya.
Mas, nanti siang makan di rumah nggak?
Karena memiliki waktu luang daripada saat kerja kantoran, aku bisa memasak. Mas Arya memiliki asisten rumah tangga, namun hanya diminta untuk membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan lainnya. Bibi tidak menginap dan datang pagi sebelum anak-anak berangkat ke sekolah, dan pulang di jam lima sore.
Tidak lama berselang, Arya menjawab pesanku.
Nanti siang makan di mall saja.
Belanja bahan makanan sekaligus baju tidur buat kamu.
Belanja baju tidur? Mengingat hal itu wajahku kembali memanas. Padahal tadi pagi aku sudah melupakannya, mengapa Arya membahasnya lagi?
***
Sekitar pukul sepuluh lewat lima menit, Arya datang menjemput kami. Giliran Ren yang duduk di depan, sementara aku dan Hime di belakang. Setelah aku memastikan Hime dan Ren memasang seatbelt-nya, mobil perlahan berjalan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya