Sepanjang perjalanan, Hime bercerita soal di kelas tadi waktu ditanya soal hobi oleh gurunya. Dia menjawab ingin menjadi dokter seperti ibunya, supaya bisa membantu orang sakit katanya.
“Kalau Ren jawab apa?” Aku duduk di belakang kursi kemudi, hingga bisa melihat raut wajah Ren. Anak itu hanya melirikku, lalu menatap jalanan di depannya.
“Ren, ditanya Mama. Kok nggak dijawab?” Arya ikut menoleh melihat Ren. “Dijawab, Nak.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ren kembali melirikku, lalu menghela napas seperti orang dewasa. “Pilot.”
Arya mengacak rambutnya. “Dari dulu dia senang sama pesawat.”
Aku mengangguk paham. “Makanya kok di rumah banyak banget mainan pesawat.”
“Kalau tante mau jadi apa?” Hime memandangku. Sepasang matanya berbinar-binar ingin tahu.
Mulanya aku tidak paham dengan maksud pertanyaannya, namun setelah dipikir-pikir, ibunya bekerja sebagai dokter, ayahnya pengusaha, mungkin aku yang berada di rumah dia pahami sebagai bentuk tidak menjadi apa-apa.
“Bilangnya Mama, Sayang. Bukan tante.” Arya dari depan menimpali.
Dengan raut malu-malu, Hime menatapku lagi. “Mama mau jadi apa?”
Aku tersenyum lalu menyangga daguku, pura-pura berpikir. “Apa ya? Mama suka ngegambar nih, enaknya jadi apa ya?”
Mendengarku, Ren sontak menoleh. Aku yang menangkap pergerakannya ikut menatap, namun setelah menatapku cukup lama, anak itu kembali menghadap ke depan.
“Suka ngegambar apa?” Hime kembali bertanya.
“Hmm. Ada banyak. Nanti deh Mama kasih lihat.”
“Mama bisa gambarin aku nggak?” Hime kini mengubah posisinya menghadapku, yang kemudian mendapat teguran oleh ayahnya. Ketika sudah memperbaiki posisi, anak itu kembali bertanya. “Mama bisa gamba raku?”
“Bisa dong! Nanti Mama gambar kamu pakai seragam sekolah.”
Hime berteriak senang. Lalu mengusulkan rambutnya nanti memakai aksesori yang dia suka, lengkap dengan tas dan sepatu yang dipakainya. Sementara Ren kembali melirikku malu-malu, dan berpaling ketika aku melihatnya.
“Sama Ren juga nanti,” ucapku. Kini anak itu terang-terangan melihatku. “Ya? Mau nggak Mama gambar?”
Dia mengangguk meski raut wajahnya tetap kecut. Aku mengulum senyum lalu tanpa sengaja bertemu pandang dengan Arya melalui spion. Meski hanya diam tanpa ekspresi seperti itu, tanpa mengatakan hal romantis, jantungku masih saja dibuat berdebar hanya dengan tatapannya yang tajam sekaligus hangat.
Duh. Sampai kapan jantungku akan cupu seperti ini?
***
Kami tiba di rumah sekitar pukul dua belas siang. Arya kembali ke kantor, sementara aku dibantu Bik Marni mengemas bahan makanan dan memisahkannya untuk disimpan di kulkas. Anak-anak langsung ke ruang keluarga dan membuka mainan yang mereka beli di mall di depan TV.
“Sayang, ganti baju dulu yuk?” Aku menyusul mereka beberapa saat kemudian.
Hime dan Ren tidak menjawab. Hime tampak seru mencoba mainan alat kedokteran di depannya, sementara Ren sibuk menata robot-robot serta pesawat-pesawatnya di rak mainan.
“Sayang, ganti baju dulu ya?” ulangku. “Tadi Ayah bilang kalian tidur siang dulu, baru main.”
“Bentar, Ma. Ini lagi benerin stetoskop dulu.” Aku awalnya kaget ketika Hime dengan lugas menyebut kata stetoskop di tangannya, tapi mengingat Diandra adalah ibu kandungnya, itu sangat wajar.
“Nanti, Nak. Nanti Mama bantuin pasang mainannya. Sekarang ganti baju dulu.”
Dengan cepat Hime berhasil merakit mainannya, mencoba stetoskop dengan menempelkan ke kedua telinga layaknya seorang dokter. Sementara itu, Ren masih sibuk dengan berbagai model pesawat di hadapannya.
“Ren? Yuk! Ganti baju dulu.”
Ren menoleh sebentar untuk melihatku, dasi kupu-kupunya sudah terlepas dan jatuh ke laintai, namun anak itu tak acuh dan memilih melanjutkan keseruannya.
Aku kadang dibuat berpikir atas tingkah laku Ren. Dia bisa dibilang pendiam jika dihadapanku. Kadang seolah tertarik, tapi lebih banyak cuek dan terkesan juteknya. Mungkin dia belum bisa menerimaku, bisa jadi dia masih menganggapku orang asing yang tiba-tiba menyatu dengannya.
“Ren? Ayuk!” Ajakku lagi.
Tapi kali ini bahkan menoleh pun tidak. Anak itu malah menambah kerjaan lain dengan menghitung mainannya berulang-ulang. Setelah bosan, pesawat satunya diambil dan posisinya diganti dengan pesawat lainnya. Dia mengatur posisi mainan tanpa ada habisnya.
“Yaudah kalau begitu. Hime mau duluan ganti baju?”
Hime menatapku cemberut, seolah tidak setuju dengan usulku.
“Baju Hime dan Ren udah kotor loh. Tadi dipakai main di sekolah.”
Hime yang tadinya ingin mengeluarkan mainan lain mendadak berhenti. “Ma. Kata Bu Aulia kalau kotor itu banyak kumannya.”
Aku tersenyum tipis. Pancinganku berhasil. Anak ini memang terkadang harus dipancing dengan informasi menarik dulu. Tidak apa-apa, yang penting aku sudah tahu celahnya.
“Betul. Bajunya kan udah dipakai main di sekolah. Lari-larian. Pasti sudah kotor dan banyak kumannya,” ucapku menegaskan, kuharap Ren akan mendengarkan juga. “Nanti kalau udah bobok siang, kita nanam tanaman yuk! Tadi Mama beli bibit bunga, mau ditanam di halaman depan,” tambahku lagi.
Berhasil. Anak itu menoleh menatapku, mengerutkan dahi sembari memicingkan mata tidak suka, namun ketika aku membawa Hime untuk berjalan ke arah tangga, Ren lebih dulu berlari kecil melewatiku. Menapaki satu persatu anak tangga.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya