Sesampainya di rumah sudah ada ibu dan Ayah yang selalu setia menungguku pulang kerja di teras depan rumah.
“Kok pulangnya sampai malam, Fan?” tanya ibu setelah aku mengucapkan salam dan mencium tangan kedua orang tuaku.
“Iya, Bu. Nongkrong dulu sama Desta. Maaf Irfan lupa kasih kabar dulu sama Ibu. Irfan masuk dulu, ya, Bu, Pak,” ucapku menjelaskan alasan keterlambatanku sampai rumah, lalu pamit untuk masuk ke dalam rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku melangakah meninggalkan ibu dan bapak yang duduk di teras, lalu, masuk ke dalam kamarku. Setelah itu, aku segera membersihkan diri. Selesai makan malam bersama di meja makan, aku menemani ibu dan bapak berbincang santai.
Di keluargaku ada beberapa ritual, aturan tidak tertulis atau kebiasaan rutin yang dilakukan setiap akhir pekan, salah satunya berkumpul di ruang makan untuk makan bersama. Aku, ibu, bapak, abang, dan adikku semua berkumpul di meja makan. Sekarang Abangku sudah tinggal terpisah bersama keluarga kecilnya. Adik bungsuku sedang menempuh pendidikan sarjananya di luar kota. Tinggallah aku si anak tengah yang menemani kedua orang tuaku. Kebetulan setelah lulus kuliah, aku langsung mendapatkan pekerjaan masih di Kota Bandung ini.
Selama berkumpul di meja makan, kami melakukan perbincangan dari obrolan ringan dan santai hingga diskusi berbagai permasalahan. Tujuan Bapak menerapkan aturan tidak tertulis ini adalah untuk menumbuhkan hubungan yang lebih hangat dan akrab antar anggota keluarga.
Kata Bapak, ” Kita ini walaupun satu rumah, tapi punya kesibukan masing-masing. Semua punya kegiatan sendiri-sendiri. Makanya kita harus ngumpul setidaknya seminggu sekali untuk saling mengakrabkan diri dengan anggota keluarga.” Itulah cara keluarga kami dalam menjaga kehangatan dan keharmonisan keluarga.
Setelah selesai berbincang dengan ibu dan bapak, aku pamit undur diri untuk masuk ke kamar. Saat aku hendak merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku teringat laptopku lowbat dan belum sempat aku mengecharge di kantor tadi. Aku mendekat ke meja sebelah tempat tidurku, lalu, mengambil daypackku dan mengeluarkan laptop di dalamnya.
Tiba-tiba ingatanku kembali pada insiden beberapa jam yang lalu. Aku teringat pada kecantikan perempuan yang menabrak motorku. Mengapa wajah perempuan itu masih saja bercokol dalam ingatanku?
Waktu terus berlalu. Setiap detik dan menit berjalan hingga beberapa hari. Setiap kali aku teringat kejadian di cafe itu, ingatanku selalu tertuju padanya. Aku terkagum pada sosoknya. Aku terkagum pada cantik wajahnya, tetap lembut dan sopan saat berbicara meskipun dalam keadaan panik. Aku tersenyum-senyum sendiri. Aku merasa ada yang berbeda dengan dia. Apa mungkin aku menyukainya? Ah, terlalu dini jika aku menyimpulkan demikian.
Aku pun belum benar-benar mengenal dia. Kejadian sore itu, kan hanya insiden biasa. Hanya insiden kecil. Motorku pun baik-baik saja, tak ada kerusakan yang serius. Tapi, mengapa bayangan dia masih menari-nari dalam pikiranku? Apakah aku mulai tertarik padanya? Ah, rasanya terlalu dini untuk mengambil kesimpulan.
Beberapa bulan kemudian, aku mengunjungi kembali Cherry and Coffee. Kali ini, kedatanganku sekaligus untuk menyelesaikan urusan kantor. Aku sudah membuat janji dengan seorang klien di cafe ini. Tanpa sengaja aku bertemu dengan teman kuliahku Fania, saat itu dia teman satu angkatan. Satu jurusan juga.
“Irfan! Apa kabar? Eh nggak nyangka kita ketemu di sini. Sendirian aja?” sapa seorang perempuan.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat kembali tentang siapa perempuan ini. Aku tersenyum dan menggaruk kepalaku yang tak merasa gatal.
“Eh, iya.” Aku masih kebingungan. Sepertinya aku pernah mengenalnya tapi ingatanku benar-benar tak bisa menangkapnya.
“Kamu lupa, ya? Aku Fania,” ucapnya meyakinkanku sekai lagi.
Cepat-cepat aku meminta otakku untuk segera mengingatnya, akhirnya aku ingat siapa perwmpuan ini. Aku sedikit kaget karena penampilannya sekarang berubah drastis dari masa kuliah dulu. Ya, namanya perempuan pasti banyak sekali melalui proses perawatan tubuh. Wajar sih.
“Ah, iya. Aku ingat sekarang. Apa kabarnya?” tanyaku. Jujur sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan teman-teman lamaku. Wajar saja jika aku sudah lupa, apalagi banyak perubahan yang terlihat.
“Wah, sayang sekali aku lagi buru-buru. Sepupuku udah nungguin, di depan. Minta nomormu, dong, kita lanjut chating aja, ya.”
Aku membuka ponselku dan menyodorkan tanda barcode padanya. Setelah selesai memindai barcode, ia pamit. Aku hanya memandangnya mendekat ke mobil yang menjemputnya. Mobilnya berhenti tak jauh dari tempatku duduk di cafe, sehingga aku bisa melihat seorang perempuan melambaikan tangan pada Fania.
“Wait, sepertinya aku kenal dengan orang yang di belakang kemudi mobil itu. Ya, perempuan itu …. Iya benar, aku nggak salah lihat. Dia perempuan itu. Jadi, dia sepupu Fania?” gumamku. Maha Baiknya Tuhanku. Telah lama aku menunggu dan berharap bisa bertemu kembali dengan perempuan itu.
Setelah menghabiskan kopi yang sudah dingin aku pun pulang. Hari ini pekerjaanku sudah selesai jadi aku tidak perlu kembali ke kantor. Aku langsung tancap gas menuju rumah. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih melelahkan. Jalanan yang cukup macet, ditambah tiba-tiba motorku mogok. Aku baru ingat kalau sudah cukup lama aku belum sempat membawa motorku ke bengkel. Memang ini keteledoranku. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, sehingga lupa untuk memerhatikan kondisi motor kesayanganku. Untung saja jarak ke bengkel terdekat hanya kurang lebih 100 m.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya