Dia tetap terlihat sangat cantik meskipun tanda-tanda lelahnya bekerja tetap terlihat dari sayu matanya. Namun, sungguh ia tetap memberikan pesona yang menyejukkan mataku, apalagi hatiku.
“Meidina Haura Bening? A-a- aku Irfan Nizar Maulana,” sapaku. Aku sangat gugup. Lidahku mendadak kelu di hadapannya. Aku masih berdiri di depannya. Ada perasaan sedikit ragu. Aku khawatir jika ia teringat insiden di cafe waktu itu membuatnya malu, lalu ia menolak berteman denganku lagi.
“Iya. Betul.” Haura tersipu malu. Pipinya terlihat merona. Manis sekali. “Akhirnya kita bisa bertemu untuk pertama kali,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Maaf, ya, sudah membuatmu lama menunggu,” ucapku canggung.
“Ah, nggak, aku juga belum lama sampai, kok.” Haura memperbaiki letak kacamatanya.
Kami menikmati pertemuan pertama dan kedua ini. Pertemuan pertama karena baru kali ini aku bertemu dan lebih lama menatap wajah serta berbicara dengannya. Disebut pertemuan kedua karena secara bertatap muka langsung memang kami pernah bertemu satu kali sebelumnya, tepatnya saat terjadinya insiden itu.
Singkatnya kini kami sudah berteman. Namun, pertemanan kami awalnya tidak diketahui oleh Fania, sebagai sepupu Haura. Gaya pertemanan kami seakan lebih nyaman lewat online. Kami jarang untuk menyengaja untuk bertemu. Haura yang sedikit pendiam saat berjumpa membuatku canggung untuk sering-sering bertemu secara langsung.
Waktu terus bergulir. Hari pun berganti. Perasaan kagum dan penasaraku pada Haura semakin membesar. Akankah aku memiliki kesempatan untuk mengenal Haura lebih dekat? Bisakah aku mendapatkan hatinya? Mungkinkah debar jantungku tiap kali mendapat notif pesan darinya ini tanda-tanda jika aku mulai jatuh cinta padanya?