Di sisi lain, hatiku berkata bahwa jika aku tidak kunjung menyatakan perasaan ini, lalu, mau sampai kapan akan menunggu? Bagaimana kalau karena ketidakberanianmu ini, lalu setelah ini ada orang lain yang juga menyatakan perasaan kepadanya?
“Stop Irfan itu terlalu berlebihan!” gumamku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku tersadar dari lamunan. Untung saja Haura tidak mendengar atau memerhatikanku. Aku berusaha kembali fokus memerhatikan Haura yang sedang berbicara. Bagiku suaranya saja sangat menenangkan saat sedang berbicara, sopan dan nyaman di telinga. Senyumnya yang selalu menghiasi bibirnya membuatku semakin terpukau.
“Ra, sejak aku mengenal dan sering ngobrol sama kamu, aku merasa hidupku lebih indah. Lebih berwarna. Semua risauku hilang setelah melihat senyum manismu. Saat aku mencarimu, tapi, aku tak menemukanmu, hatiku sakit. Kamu adalah alasan untuk setiap kebahagiaan hidupku. Sejak dekat denganmu, hidupku membosankan jika itu tanpamu.” Aku menghela napas.
Haura tecengang, aku tahu ia tak bisa menyembunyikan perasaannya saat ini. Ia tersipu. Tangannya tak berhenti memainkan garpu kecil yang digunakan untuk menikmati sepiring kecil kue klepon yang ia pesan.
“Aku tak bisa membayangkan jika tak melihat senyummu dalam waktu yang lama. Mungkin duniaku akan senyap. Sunyi dan hampa. Aku ingin selalu bersamamu. Meski ragaku mungkin tidak bisa setiap hari ada di sampingmu, tapi aku ingin hatimu selalu bertaut denganku. Maukah kamu menjadi pacarku?” rayuku pada Haura.
Haura tersenyum hingga gigi putihnya yang berbaris indah sedikit terlihat. Kedua pipinya memerah. ia tersipu menahan malu.
“Baiklah, aku tak tahu apa yang ada dalam hatimu. Aku tidak akan memaksamu menjawab. Tetapi, aku mau memilih dan lakukan salah satu dari dua pilihan.”
“Apa?” tanyanya. Ia menatapku. Matanya yang bening membuatku merasa sedang dipandaang oleh bidadari.
Aku berpikir sejenak, “Kalau kamu menerima cintaku dan mau menjadi pacarku, berarti kamu harus menghabiskan kue klepon yang tersisa satu butir di piringmu.”
“Kalau aku menolak?”
“Kalau kamu menolakku, kamu berikan piring itu kepadaku, lalu, biarkan aku yang akan menghabiskan kuemu itu.”
Jantungku berdebar kencang saat itu. Harap-harap cemas saat aku memberikan tantangan itu. Aku takut dia menolakku. Aku tak sanggup menahan kecewa andaikan dia menolakku.
Namun, Tuhan Maha baik. Dia mendengar doaku. Doa yang aku panjatkan setiap selesai salat. Doa agar aku dipertemukan dengan perempuan baik-baik. Doaku yang meminta agar ibuku mendapatkan calon menantu yang terbaik.
“Hmm, baiklah.” Sekali lagi ia menatapku dengan senyuman yang sungguh sangat manis. Lalu, ia mengangkat piring berisi sebutir kue klepon. Aku tak sabar menunggu dibuatnya. Jantungku semakin berdebar.
“Aduh, dia mengangkat piring itu. Apa ini artinya dia menolakku?” batinku.
Lagi dan lagi Haura hanya menyuguhkan senyum manisnya. Mungkin saja bola matanya menangkap raut mukaku yang berubah penuh ketegangan. Sialnya, ia malah menggodaku.
“Fan, are you OK? Tegang banget kelihatannya.” Haura pun tertawa. “Baiklah, jujurly, karena aku juga sudah lama menyimpan rasa ini, nggak enak juga kalau dipendam terus. Jadi … aku mau jadi pacar kamu,” ucapnya, lalu ia menghabiskan kue klepon yang ada di piring di tangannya.
“Serius?”
“Ya, 1000 kali serius,”
“Terima kasih, Haura Bening. Sebagai tanda kita resmi pacaran aku mau memberimu sesuatu. Tapi, pejamkan dulu matamu,” pintaku. Haura pun menuruti permintaanku. Ia lalu memejamkan matanya. Ya Tuhan, betapa indahnya ciptaanMu. Dalam keadaan matanya terpejam pun masih tetap telihat sangat cantik. Tak henti-hentinya aku memuji kebesaran Allah.
Aku merogoh saku celanaku meraba dan mencari kotak kecil berbahan beludru di dalam saku celana, lalu mengeluarkannya. Kubuka kotak kecil itu. Lalu, kuambil sebuah cincin di dalamnya.
Aku berdiri. “Ulurkan tangan kirimu, Ra,” ucapku. Ia pun mengulurkan tangannya. Aku meraih jemarinya. Kupasangkan cincin indah bermata berlian itu di jari manis tangan kirinya. Ia tersenyum dan terlihat sangat bahagia.
“Wow, cantik sekali cincin ini, Irfan.” Sadar ia telah berteriak, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Terima kasih!” serunya. Semua kepala menoleh ke arah kami. Dengan menahan rasa malu kami pun meminta maaf pada setiap orang yang menoleh ke arah kami.
“Mulai detik ini, hari ini hatimu milikku, begitu juga hati dan cinta ini menjadi milikmu,” ucapku. Haura mengangguk tanda mengiyakan ucapanku.
“Sebelum kita pulang, bagaimana kalau jalan-jalan keliling taman?” usul Haura.
” Sebentar, aku ke kasir dulu.”
“Oke. Aku tunggu di sini saja, ya?”
Setelah selesai membayar, aku kembali ke tempat Haura menunggu. Lalu, kami berdua keluar dari cafe. Kami pergi menuju tempat yang lain. Motorku menelusuri jalan demi jalan.
Kali ini, destinasi kami selanjutnya tertuju pada sebuah mall di tengah kota. Haura mengajakku untuk menonton di studio bioskop yang ada di mall tersebut. Tiga jam berlalu, film yang kami tonton telah usai. Sebelum pulang kami sempatkan untuk makan siang terlebih dulu. Setelah puas jalan-jalan seharian kami pun pulang. Aku mengantarnya pulang. Aku pun segera pulang karena merasa lelah setelah seharian kencan dengan Haura.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya