Aku pun menangkap sinyal-sinyal cinta darinya. Ia tersipu malu. Pipinya semakin merona menambah cantik wajahnya yang terkena cahaya dari lampu cafe. Namun, Haura masih belum mengucapkan apa pun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi …?” selidikku menuntut segera jawaban darinya.
Haura mengangguk, lalu menunduk tersipu sampai akhirnya aku mendengar ia mengucapkan, “Iya,” lirihnya.
“Yes!!” Sahutku sambil mengepalkan dan mengangkat tangan penuh semangat. Hatiku sangat berbunga-bunga. Aku hampir saja berteriak dan melompat kegirangan kalau saja tidak ingat sedang berada di tempat umum. Sadar Haura tengah memerhatikanku, aku pun segera menarik tanganku. Malu.
“Ma-maaf. Tadi itu reflek. Habisnya aku sangat senang. Terima kasih, ya, Ra,” ucapku.
Haura pun hanya tersenyum. Suasana di antara kami menjadi hening sejenak. Hatiku terasa terbang ke atas awan. Aku pun sebenarnya menangkap sinyal-sinyal rasa yang ia pancarkan dari perubahan perilakunya saat kami sedang berduaan.
Aku menikmati proses ini dengan bahagia. Dia gadis yang aku inginkan. Semoga saja hubungan ini bisa berlanjut hingga aku bisa melamarnya untuk menjadi pendamping hidupku hingga tua nanti.
Detik demi detik terus bergulir. Hari berganti bulan. Tak terasa hubunganku dengannya sudah satu tahun berlalu. Haura memang bukan cinta pertamaku. Namun, aku selalu yakin dan berharap dia adalah tambatan cinta terakhirku. Dia adalah akhir dari petualangan pencarian cintaku.
Dari beberapa perempuan yang pernah mewarnai perjalanan kisah cintaku, hatiku berkata Haura perempuan yang berbeda dari lainnya. Dia begitu memikat hatiku. Hatiku sudah tertaut padanya. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengannya. Aku ingin menikahinya. Meskipun, dalam setiap hubungan ada saja ujiannya. Tapi, Haura tetap setia dan bertahan menjalani hubungan ini.
“Ra, tahukah kamu, ada miliyaran manusia tercipta di bumi ini, dan dari semuanya itu intuisiku selalu tertuju kepadamu,” ucapku saat itu.
“Alaaah, gombal,” ledek Haura sambil melemparkan kertas tisu yang ia remas-remas membentuk bola kertas.
“Eh, serius lho. Gak percaya?”
“Nggak! Kalau kamu memang serius, buktikan! Beranikah kamu datang ke rumah orang tuaku? Datang dan bicaralah pada Papaku kalau kamu mau melamarku!”
“Siapa takut? Beranilah! Tapi, nggak sekarang, juga, ya,” jawabku.
“Ya iya lah. Ini kan sudah malam. Kapan?”
“Beri waktu aku untuk berpikir, tolong ….” Aku merengek penuh harap.
“Aku tak mau menunggu terlalu lama. Aku butuh kepastian darimu, Fan. Kamu beneran serius mencintaiku, kan?”
Sejak malam itu aku terus memikirkan tentang hubunganku dengan Haura. Apakah aku bisa menjadi imam yang baik untuknya? Sementara aku terkadang tidak bisa sepenuhnya menjaga hatiku.
Jiwa mudaku masih bergejolak. Aku laki-laki dan masih muda. Aku masih memiliki banyak waktu untuk penjajakan mencari cinta yang cocok. Begitulah pikirku saat itu.
Selama aku berpacaran dengan Haura, semua terasa begitu indah. Tak pernah kujumpai masalah yang berarti.
Aku selalu teringat dengan perkataan ibu. Ibu yang meminta aku untuk mulai mencari perempuan yang benar-benar mau serius dalam hubungan dan segera membina rumah tangga.
“Nak, kamu itu sudah dewasa sekarang. Sudah waktunya memikirkan masa depan, bukan lagi buat main-main. Kalau sudah punya teman perempuan yang dekat denganmu dan kamu merasa dia cocok jadi pendampingmu, segera bawa ke sini. Kenalin sama ibu, lalu kita melamarnya,” ucap ibu suatu malam selesai makan malam.
“Iya, Bu. Irfan tahu. Ada, sih, perempuan yang lagi Irfan dekati. Tapi, untuk saat ini aku masih belum yakin apa aku bisa menjadi imam yang baik, Bu?
Iya, benar kata ibu. Aku sudah waktunya memikirkan masa depan. Tidak mungkin hidupku akan begini terus. Sudah waktunya serius untuk mencari calon istri. Sudah cukup masa petualangan cinta yang kulalui. Aku yakin Haura sosok yang tepat untuk menjadi istriku.
Apa lagi yang aku ragukan? Lagi pula Haura juga pernah mengatakan ia bersedia menikah denganku. Tuhan, tunjukkan jalan yang terbaik untukku, lirihku dalam doa.
Dalam kebimbanganku aku memohonnpetunjuk pada Allah. Di sepertiga malamku, aku mencoba merayu Allah dalam keheningan. Aku memohon dalam setiap sujud dan doa agar diberikan petunjuk jalan terbaik. Jika memang Haura jodoh terbaik untuk dunia dan akhiratku, tautkan hatiku dan hatinya untuk selalu bersama dalam satu tujuan cinta. Tapi, jika memang Haura bukan jodohku, jauhkan ia dari kehidupanku untuk selamanya.
Doa itu yang selalu kupanjatkan setiap selesai melakukan salat Istikharah. Sebab aku sadar, sebagai manausia aku memiliki rencana, keinginan dan harapan, tetapi Allah yang menentukan segala takdir seluruh makhluk.
Sebelum aku menemui orang tua Haura rencananya aku akan membawanya ke rumah untuk kukenalkan Haura pada orang tua dan keluargaku.
“Ra, sebelum aku menemui Papamu, aku ingin mengenalkanmu pada Bapak dan Ibu. Mau, kan?”
“Aku mau, kapan?”
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya