“Kalau kamu siap, sekarang juga boleh.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ayo!”
Sore itu aku dan Haura sudah waktunya untuk kencan berdua. Tapi aku lebih mengajaknya menemui ibu dan bapakku di rumah. Rupanya Haura pun mengiyakan. Saat kami datang, seisi rumah terlihat sepi, ternyata ibu dan Bapak sedang bersantai di teras balkon lantai dua. Aku mendekati mereka, memberi tahu bahwa Haura sedang menunggu mereka di bawah.
“Bu, Pak, maaf ada seseorang yang mau bertemu Ibu dan Bapak. Irfan kenalkan pada Ibu dan Bapak,” ucapku.
“Mau ketemu Ibu sama Bapak? Siapa?” tanya ibu. Aku turun menemui Haura yang menunggu di kursi teras rumah. Lalu, aku mempersilakan Haura masuk dan duduk di ruang tamu. Tak lama ibu dan bapak menyusul.
“Eh, ada tamu rupanya. Sudah lama menunggu?” sapa ibu. Haura segera bangkit dari duduk dan mengulurkan tangan untuk salim pada ibu, disusul bapak.
“Bu, Pak, kenalkan ini Haura, pacarku, doakan, ya, semoga kami berjodoh,” Aku melirik ke arah Haura. Ia mengangguk dan menyunggingkan senyum pada ibu, lalu pada Bapak.
“Haura.”
Haura mengulurkan tangan untuk salim dan mencium tangan kedua orang tuaku. Ibu dan bapak menyambut uluran tangan Haura. Tidak ada yang aneh. Semua berjalan sewajarnya. Haura memang masih terlihat canggung di depan ibu dan bapakku. Tidak apa-apa. Wajar saja, namanya juga pertemuan pertama.
“Nak Haura satu kantor sama Irfan?”
“Nggak, Bu. Eh, maaf saya harus memanggil dengan apa?”
“Nggak apa, Nak. Apa pun boleh. Senyamannya Nak Haura saja,” ucap ibu
“Saya kerja di kampus swasta, Bu.”
“Sudah lama kenal sama Irfan?”
“Kurang lebih satu tahun, Bu.” Haura masih terlihat gugup.
Haura, ibu dan bapak masih asik mengobrol. Sesekali terdengar tawa mereka. Aku merasa lega karena Haura bisa mengakrabkan diri dengan keluargaku.
Setelah ibu dan bapak merasa cukup untuk sedikit ‘meng-interview’ calon menantunya, ibu dan bapak undur diri untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Kini wajah Haura sudah terlihat lebih santai. Tak setegang sebelum bertemu dan mengobrol dengan ibu dan bapak.
“Ra, are you oke?”
“Yeah, kenapa emangnya?” Haura menautkan kedua alisnya. “Ibu dan bapak asik juga, ya. Baik orangnya. Tak seperti yang aku khawatirkan. Tadi sebelum aku sampai ke sini, aku sudah over thinking. Ternyata tak semenakutkan itu. He he he.”
“Terima kasih ya, Ra.”
“Untuk apa?”
“Iya, kamu sudah mau aku ajak untuk mengenal keluargaku. Dan …, dari cara kamu ngobrol sama ibu dan bapakku tadi, menunjukkan kalau kamu enjoy dengan proses ini. Aku sangat senang. Semoga setelah kita menikah nanti istriku dengan orang tua dan keluargaku semakin dekat.”
“Amin.”
Hari itu aku berhasil mengenalkan Haura dengan orang tuaku. Satu langkah pasti membuatku semakin yakin untuk segera melamar dan menikahi Haura. Ibu dan bapak telah memberikan sinyal lampu hijau untuk melanjutkan pada hubungan serius berikutnya, menikah.
Setelah keluargaku mengenal Haura, aku sempat beberapa kali mengajak Haura ke rumah. Haura juga sudah semakin akrab dengan keluargaku, terlebih ibu. Itu sebabnya, aku tak ingin Haura lebih lama menanti.
“Irfan, kamu nggak lupa, kan sama janjimu? Kamu pernah janji untuk datang ke rumah untuk melamarku pada kedua orang tuaku,” ucap Haura.
“Iya, aku sedang menunggu waktu yang tepat. Sabar, ya,”
Sepulang mengantar Haura dari undangan pernikahan teman Haura aku sengaja untuk mampir sejenak bertemu dengan kedua orang tuanya. Papa dan mamanya menyambut baik kehadiranku. Aku sempat diinterogasi beberapa pertanyaan.
“Sudah berapa lama kenal Haura?” tanya Papa Haura. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Pembawaannya yang tegas tapi tetap memberika kesan wibawa.
“Kurang lebih setahun, Om,” jawabku.
“Sudah lama juga, ya. Nak Irfan kerja? Satu kantor sama Haura? Atau ….” Papa Haura tak melanjutkan perkataannya.
“Tidak, Om. Aku tidak sekantor dengan Haura. Pekerjaan kami pun tidak saling berhubungan. Kami memang satu almamater, hanya beda angkatan. Saya … temannya Fania.”
“Oh, jadi, kamu kenal Fania?”
“Iya, Om. Dulu kami satu kelas.”
Aku mencoba mengakrabkan diri dengan kedua orang tua Haura terutama sang Papa. Karena biasanya anak perempuan adalah anak kesayangan ayahnya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padaku, aku sangat bisa merasakan betapa sayangnya seorang ayah kepada anak gadisnya ini. Ini bisa menjadi bekal untukku bagaimana seorang ayah memberikan perlakuan yang baik terhadap anak gadisnya. Karena setelah menikah nanti tanggung jawab seorang ayah akan dilimpahkan ke pundak suaminya.
Aku semakin yakin untuk menikahi Haura setelah kedua orang tuanya memberikan sinyal-sinyal restu untuk melanjutkan hubungan ini. Tekatku semakin kuat.
Banyak hal yang harus aku persiapkan sebelum melangkah lebih jauh untuk membina rumah tangga. Aku mulai sering menyempatkan diri membaca buku-buku tentang persiapan pernikahan dan berumah tangga, membaca buku dan literatur lain tentang parenting. Sebab setelah memerhatikan dan mengobrol dengan orang tua Haura, aku yakin mereka telah banyak belajar untuk menerapkan parenting yang baik untuk mendidik anak-anaknya. Haura sebagai contohnya. Jika bukan dilahirkan dan dididik oleh orang tua yang baik, tidak akan terbentuk kepribadian yang baik dan akhlak yang santun seperti Haura.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya