Selain membaca buku aku juga mulai sering mencari informasi dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Aku mulai sering mengunjungi teman-teman yang telah lebih dulu menikah untuk meminta sedikit nasihat dari pengalaman-pengalaman mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Waktu terus berjalan. Hari pun berganti. Tibalah saatnya momen untuk melamar Haura. Aku harus mempersiapkan segala keperluannya. Begitu pun dengan Haura. Aku harus menyelaraskan tujuan, visi dan misi tentang masa depan yang akan kami bangun bersama.
“Fan, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan sebelum kita menikah. Karena, apa yang akan kusampaikan ini adalah hal-hal penting yang bisa menjadi pemicu sesuatu yang besar.”
“Oke … baiklah. Sampaikan saja.” Cukup lama Haura hanya diam. Pandangannya menerawang jauh. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Aku ingin memastikan apa kamu masih yakin dan sungguh mencintaiku?” Ia menatapku sambil mengaduk minuman di depannya yang sebenarnya sudah larut sedari tadi. Sorot matanya penuh selidik.
“Sayangku, cintaku, lihat aku dan dengarkan baik-baik.” Aku mengubah posisi dudukku. Kusentuh bahunya, menyejajarkan posisinya agar pandangannya tepat di depan mataku. Lalu, “I love you much, much, much, more! Aku akan buktikan secepatnya. Minggu depan aku akan bawa keluargaku untuk datang ke Papa Mamamu melamarmu.” Aku menggamit jemarinya, lalu mengecup kedua punggung tangannya. “Kamu percaya padaku, kan?” tanyaku.
Haura tersenyum dan menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaanku.
“Bukan hanya itu, Irfan.” Ia menghela napas. “Setelah menikah nanti, aku tetap punya kebebasan untuk memilih, kan? Maksudku, memilih untuk melakukan apa yang aku mau. Mmm, maksudku …, apa aku bebas memilih mau stay di rumah atau tetap bekerja?” tanya Haura meminta kepastian.
“Tentu saja, Ra. Kamu boleh memilih apa pun yang ingin kamu lakukan. Kamu boleh memilih sesukamu. Menjadi ibu rumah tangga yang full mengurus keluarga di rumah atau akan menjadi working mom, asalkan kamu bisa mempertanggungjawabkan pilihanmu itu.”
“Maksud aku, kamu tidak akan keberatan, kan, seandainya nanti aku memilih tetap melanjutkan karierku?”
“Iya, Sayang. Aku tahu. Aku tahu seorang istri juga tetap memiliki hak untuk tetap mengembangkan potensi dirinya. Aku juga ingin istriku tetap bahagia dan berkembang dalam kariernya sama seperti sebelum aku menikahinya.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, ya.” Senyum manis terkembang di wajah ayunya. Lalu, “Poin selanjutnya, soal finansial keluarga. Aku mau kita saling terbuka tentang kondisi keuangan. Tentang penghasilan dan lain-lainnya. Aku ingin saat kita sama-sama berpenghasilan, kita sisihkan sebagian untuk tabungan investasi, tabungan darurat, bersama untuk masa depan keluarga kita. Tanggung jawab pengelolaan keuangan ini menjadi tanggung jawab bersama. Apa kamu setuju?”
“Masalah keuangan rumah tangga menjadi tanggung jawabku sebagai suami sebagai kepala keluarga. Sebagaimana aturan dalam agama kita bahwa nafkah keluarga adalah tanggung jawab penuh bagi suami. Untuk pengaturan dan pengelolaannya aku serahkan padamu nanti kalau kamu sudah menjadi istriku. Kamu boleh mengatur dan menggunakan uang yang aku berikan kepadamu untuk segala macam kebutuhanku, kebutuhanmu, kebutuhan anak-anak, dan kebutuhan kita.” Haura memerhatikanku dengan saksama.
“Kalau seandainya, nih, aku tak bekerja, tapi ingin memberi sesuatu hadiah atau semacamnya untuk kedua orang tua dan keluargaku tapi pakai uang kita kamu keberatan, nggak?”
“Jelas boleh, dong. Aku nggak akan keberatan, Sayang. Bagaimana pun setelah menikah nanti aku memiliki dua bapak dan dua ibu. Mereka semua menjadi orang tua kita. Tidak ada orang tuaku atau pun orang tuamu. Aku pun berharap kamu juga sama terhadap orang tua dan keluargaku.”
Kami terdiam sejenak saat seorang pelayan datang menawarkan apakah kami akan menambah makanan atau minuman.
“Saat kita berumah tangga nanti, bagaimana dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak-anak kita nanti? Aku ingin kita kerjakan sama-sama. Kita bisa saling bantu.”
“Iya. Aku sepakat. Untuk pekerjaan rumah dan mengurus anak kita bisa lakukan bersama-sama, karena urusan-urusan seperti ini sudah semestinya menjadi tanggung jawab kita berdua. Aku percaya kamu bisa menjadi istri dan ibu yang baik untuk aku dan anak-anak kita nanti.”
Hari-hari berikutnya aku dan Haura disibukkan dengan persiapan acara lamaran atau pertunangan kami. Kami berdua mengurus segala perencanaan dan perlengkapan dibantu kerabat dan saudara terdekat. Karena acara lamaran dan pertunangan ini hanya sederhana saja dan dihadiri oleh keluarga besar saja.
Hari pertunangan dan lamaran pun tiba. Semua sudah kupersiapkan dengan baik. Bapak dan Ibu sibuk menelpon saudara yang diundang untuk ikut mengantarkanku. Beberapa keluarga ada yang sedang menata barang-barang hantaran ke dalam mobil. Aku sudah berdandan rapi. Kali ini aku memakai baju batik berlengan panjang warna kobinasi coklat dan hitam dipadukan dengan celana panjang warna hitam.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya