Mama selalu menasihatiku bahwa ketika iman masih tertanam dalam hati kita, maka contohlah sifat-sifat orang yang beriman yang selalu berprasangka baik atas setiap kejadian yang tidak sesuai dengan harapan. Semua yang terjadi adalah atas izin Allah sebagai pilihan terbaik untuk kita. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Saat seseorang ditakdirkan untuk belum atau bahkan tidak memiliki seorang anak dari rahimnya, bukan berarti Allah menghendaki keburukan baginya. Mungkin saja Allah ingin memberikan sesuatu dalam bentuk lain yang lebih baik untuk aku dan Irfan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku mulai diliputi rasa cemas. Usia pernikahanku sudah memasuki bulan keenam. Hingga saat ini tanda-tanda kehamilan juga belum juga aku rasakan. Saat melihat teman yang membawa serta anaknya ke kampus perasaan ingin segera merasakan memiliki buah hati begitu menggebu.
Pagi hari setelah selesai salat Subuh, tiba-tiba aku teringat sudah satu minggu belum haid. Sebenarnya aku ragu untuk mengecek apakah aku hamil atau tidak. Hatiku berharap semoga garis dua segera muncul. Aku mengambil test pack yang ada di dalam kotak obat di kamarku. Sejak menikah aku memasukkan test pack ke dalam daftar belanja rutin setiap bulan.
“Ternyata masih sama seperti bulan lalu,” gumamku.
Aku masih berdiri di depan cermin kamar mandi. Tubuhku hanya mematung menatap testpack di tanganku yang menunjukkan satu garis berwarna merah. Aku mengembuskan napas penuh frustasi. Irfan yang sedang duduk di sofa kamar memerhatikanku.
“Ada apa, Sayang?” Irfan mendekat dan memelukku dari belakang. Aku hanya diam, menoleh ke arahnya, lalu menunjukkan test pack di tanganku.
“Nggak apa-apa, Sayang. Belum rizki kita.”
“Iya, tapi aku ingin punya baby ….”
“Nanti kita coba lagi, ya.” Irfan menarik membalikkan tubuhku, lalu memelukku erat. “Allah ingin kita sabar dulu, Sayang.”
Aku mengangguk pelan.
“Yuk, senyum lagi, ah. Aku lebih suka lihat istriku tersenyum,” ucapnya. Irfan melepaskan pelukannya, lalu menatapku dan menyentuh daguku. Aku tersenyum, tak bisa kusembunyikan rasa malu.
Irfan selalu punya cara untuk meredam kegundahanku. Pagi itu aku lalui dengan kedamaian. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke kantor aku menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Kami belum memiliki asisten karena merasa belum terlalu membutuhkannya. Mungkin saat nanti jika memang diperlukan kami akan memakai jasa asisten. Untuk saat ini aku ingin berusaha menjadi istri yang bisa sepenuhnya melayani suami. Sebisa mungkin aku memasak dan menghidangkan makanan dengan tanganku sendiri.
Selesai membereskan meja makan dan mencuci piring-piring bekas sarapan aku bersiap-siap untuk bekerja. Sementara Irfan ia sedang mengecek mobil sebelum digunakan untuk berangkat ke kantor. Setelah itu baru ia mengganti bajunya dan kami berangkat bersama. Irfan masih merawat motor kesayangannya yang sejak dulu ia gunakan untuk mengantarnya kemana pun.
“Aku nggak akan pernah menjual motor ini. Ini motor kesayanganku. Motor penuh sejarah. Banyak sekali kenanganku bareng motor ini. Mau ditawar 1 M pun nggak akan kulepas,” ucapnya saat kutawari ia untuk mengganti dengan motor baru.
“Sayang, hari ini aku mau meet up sama Mila, ya. Kebetulan hari ini aku cuma ngajar pagi aja, boleh, kan?”
“Boleh dong, Sayang. Kamu Hati-hati, ya.”
Tak terasa mobil kami sudah sampai di depan kampus tempatku mengajar. Setelah berpamitan aku turun dari mobil, lalu masuk ke kampus.
Sudah dua bulan aku dan Mila nggak bertemu. Mila memang sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya. Mila juga temanku yang paling beruntung. Setelah ia putus hubungan dari pacar yang sebelumnya yang toxic, ia mendapatkan pengganti yang lebih baik.
Gilang merupakan teman kami saat SMA dulu. Gilang yang pendiam tapi ternyata telah menyimpan rasa pada Mila dari masa sekolah dulu. Hanya saja Gilang hanya menyimpan perasaan itu tanpa berani mengungkapkannya pada Mila. Namanya juga jodoh itu rahasia Tuhan. Siapa yang menyangka mereka kini bisa bertemu kembali hingga saling menyatakan perasaannya.
Haura: ” My Mila, jadi, kan hari ini kita meet up? Mumpung aku cuma ngajar pagi, nih.”
Pesan WA-ku terkirim. Tak lama tanda ceklist dua berubah membiru. Tanda pesanku telah dibaca olehnya.
My Milamoy: “Jadi, dong. Tunggu aku jemput kamu ke kampus, ya! Kebetulan aku lagi ada di daerah dekat kampusmu.”
Aku sudah selesai mengisi kelas. Sambil menunggu Mila menjemputku, aku memilih berdiam diri di ruang dosen sambil browsing resep-resep masakan dan kue-kue di internet. Ruang dosen sepi. Beberapa rekanku sedang mengisi kelas, yang lainnya mungkin ada jadwal di kampus lain.
Aku senang mengajar di sini. Dosen yang masih berstatus honorer boleh bekerja juga di kampus lain. Aku juga belum terlalu lama mengajar di sini, baru sekitar dua tahun.
Teman-teman kerjaku asik. Rasa kekeluargaan di kantorku cukup baik. Ya, meskipun tetap ada saja orang-orang yang selalu bikin masalah. Namanya juga persaingan di dunia kerja. Di mana pun akan tetap ada.
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7 8 Selanjutnya