Selain bekerja sebagai dosen aku juga suka dunia menulis. Dari hobiku ini aku bisa menyebarkan ilmu lebih luas pada dunia. Aku ingin memberikan banyak manfaat untuk orang lain lewat tulisanku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ponselku bergetar. Notifikasi dari mila masuk.
My Milamoy: “Hau-Hau, aku udah di depan kampusmu, nih. Yuk, kita jalan sekarang!”
Aku segera keluar dari ruang dosen berjalan melewati koridor kampus menuju tempat biasa Mila memarkirkan mobilnya ketika menjemputku. Beberapa dosen yang berpapasan di koridor menyapaku. Saat melewati pos security, seorang petugas menyapaku, “Bu Haura sudah mau pulang, ya?” tanya Pak Tomi. Ia bangkit dari duduknya.
“Iya, Pak Tomi, kebetulan hari ini hanya mengisi satu jam mata kuliah saja, Pak.”
“Oh begitu, ya. Hati-hati di jalan, Ibu.”
“Baik, Pak, terima kasih. Mari, Pak Tomi saya duluan.”
Aku berjalan menuju mobil Nissan March warna merah yang terparkir di bawah pohon dekat gerbang masuk kampus. Aku sudah hapal dengan mobil milik Mila, sehingga tak sulit bagiku mencarinya.
Kubuka pintu, lalu masuk mobil. Bukan Mila namanya kalau tidak heboh saat berjumpa. Apalagi sudah lama kita tidak bertemu. Setelah cium pipi kanan dan kiri, ia mulai menyalakan mesin mobil.
“Duh yang sudah menjadi Nyonya Irfan, auranya makin cerah aja, nih!” pujinya.
“Alhamdulillah, Mil. Aku bersyukur banget nikah sama Irfan. He treaded me like a queen! Setiap hari setiap momen aku dirayakan,” jawabku penuh semangat.
“Aaaahh, senang banget, deh. Aku juga mauu, Hau,” jawabnya.
Tak lama kemudian mobil Mila berhenti di sebuah cafe langganan kami. Setelah mobilnya diparkir, kami keluar mobil. Kami berjalan memasuki cafe. Setwlah mendapat meja, seorang pelayan menghampiri meja kami.
“Selamat siang, Kak, apakah sudah siap untuk memesan menu? Kalau boleh tahu untuk berapa orang?” tanya seorang pelayan ramah.
“Siang. Ya, saya mau pesan untuk dua orang. Maincourse yang best seller di cafe ini saja, panacotta, dan choco milkshake.” Pelayan dengan sigap mencata menu pesananku. “Kamu mau apa, Mil?”
“Samain aja, deh, aku lagi malas mikir,” jawabnya.
“Ah, dasar kamu!”celetukku. Mila terkekeh.
“Eh, iya, gimana hubunganmu sama Gilang? Aman?” Aku memulai obrolan.
“Justru itu aku mengajakmu meet up,” jawabnya. Ia merogoh tasnya untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Lalu menyodorkan kartu undangan padaku.
“Aah, My Milamoy, akhirnya ….” Aku berteriak karena kegirangan hingga aku lupa sedang bdrada di caffe. Aku segera membekap mulut sendiri. Untung saja cafe ini lumayan ramai sehingga tidak banyak pengunjung yang menyadari dengan teriakanku. Kami berdua terkekeh.
“Iya, makanya kamu wajib datang! Nggak ada alasan. Sekarang giliranmu jadi bridesmaid-ku.”
“Iya iya, Insyaallah aku datang.”
“By the way, gimana, nih rasanya setelah menjadi Nyonya Irfan? Cerita, dong pengalaman serumu!” desak Mila.
“Yes, seriously aku seneng banget. Bersyukur banget aku nikah sama Irfan. He treaded me like a queen. Seperti yang kubilang tadi di mobil. Aku sempat ragu untuk menerima lamarannya, karena waktu kami pacaran, dia tu cuek orangnya, terkadang malah terkesan dingin, gitu. Tapi, setelah ia membuktikan keseriusannya dengan datang melamarku, meminangku memintaku ke Papa. Dari sanalah aku tau seberapa effort-nya dia.” tuturku.
“Aah … so sweet, deh.” Ia tersenyum menggemaskan menyipitkan kedua matanya.
Obrolan kami terhenti saat seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Setelah itu kami fokus untuk menyantap makanan yang telah dipesan.
“Oh iya, gimana dengan hubungan kalian? Kamu udah yakin, kan sama dia?” selidikku
“Iyalah, Hau. He’s better than my ex boyfriend,” jawabnya penuh penekanan saat mengucapkan better than. Aku paham apa yang ia rasakan sebelum dan setelah ia berpacaran dengan Gilang, calon suaminya.
Setelah puas saling bercerita tentang banyak hal aku dan Mila pulang. Mila juga sempat mampir ke rumah saat mengantarku pulang.
“Oh My God! Haura, rumahmu nyaman baget ini, beruntung banget jadi kamu. Sebagai sahabatmu, aku turut senang saat sahabatku juga bahagia.”
Aku terdiam. Pandanganku menerawang jau ke arah taman yang ada di belakang ruang makan setelah Mila mengucapkan kata ‘bahagia’. Kamu nggak tahu aja, Mil, saat ini hatiku sedang resah, dan cemas, gumamku. Mila menyadari aku sedang melamun dan samar-samar mendengar gumamanku.
“Hau …, are you OK?” selidik Mila.
“Eh, ya, aku baik-baik saja.”
“Nggak, Hau, aku kenal betul siapa kamu. Ini bukan Haura yang aku kenal. Please, ada apa? Oke, kalau kamu nggak mau cerita sekarang, kapan pun kamu mau, aku ada untukmu.” Mila mengusap punggung tanganku.
“A-aku …. Aku lagi galau, Mil. Semua telah kudapatkan. Suami yang baik, materi lebih dari cukup, kehidupanku romantis, tapi …, hingga saat ini aku dan Irfan masih belum juga dikaruniai anak. Aku mulai merasa sepi. Apalagi saat Irfan sedang lembur di kantor. Aku mulai merindukan hadirnya anak.”
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7 8 Selanjutnya