Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)
Bab. 7
POV : Haura
Sebulan sebelum bertemu Mila, aku bertemu Tante Martha, aku baru pulang seusai mengikuti sebuah seminar di sebuah pusat perbelanjaan di dekat rumah ibunya Irfan. Karena masih banyak waktu aku berniat mampir untuk silaturahmi ke rumah menjenguk mereka meski tidak sedang bersama Irfan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku senang mengobrol dengan Tante Martha. Banyak hal yang bisa aku contoh darinya. Perempuan hebat dengan karier yang cemerlang tetapi tetap tidak mengabaikan perannya sebagai istri dan ibu.
“Haura, apa kabarnya, Nak? Gimana, sudah ada tanda-tanda kehamilan?” Pertanyaan yang sangat klise. Pertanyaan yang akhir-akhir ini membuatku sedikit risih. Awalnya aku pun merasa tidak nyaman ditanya hal-hal pribadi seperti ini.
“Belum, Tante. Doakan aku dan Irfan diberikan yang terbaik, ya Tante,” jawabku berusaha tetap tenang. Sejujurnya perasaanku menjadi sedih karena pertanyaan ini. Mungkin Tante Martha juga bisa menangkap gelagat keresahanku ini.
“Tidak apa-apa, cantik. Dulu, tante dan om juga seperti kalian. Cukup lama menunggu kehadiran buah hati. Berbagai cara kami lalukan. Apa yang orang sarankan tante jalankan. Namanya belum rizkinya tante dan om untuk punya anak. Menjalani pola hidup sehat, olah raga, perbanyak sabar, dan lebih mendekatkan diri pada Allah. Tiga tahun tante menanti kehadiran anak pertama. Barulah tante dikasih rizki buat hamil.” Tante Martha diam sejenak, lalu berkata, “saat itu tante sudah pasrah, tapi tetap berikhtiar dan berdoa, Allah berikan amanah itu. Yang sabar saja, mungkin Allah masih memberi kesempatan kalian untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain agar nanti bisa menyatukan tujuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, termasuk mendidik anak-anak di dalamnya,” tutur Tante Martha.
“Iya, Tante, terima kasih sudah berbagi pengalaman dan terima kasih juga untuk semangat yang sudah ditularkan,” ucapku. Beruntung aku dipertemukan dengan keluarga yang bisa saling support.
Aku masih belum berani untuk membicarakan hal ini pada Irfan. Hingga waktu belalu, aku masih menyimpan keresahan ini sendiri. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Mila, sebagai sahabat dan sesama perempuan aku dan Mila memang sering saling berbagi cerita.
Sebenarnya aku tipe orang yang mau terbuka hanya pada orang-orang tertentu saja yang aku anggap nyaman sebagai tempat berbagi. Karena Mila sahabat terdekatku, dan aku merasa nyaman bercerita dengannya, maka kuceritakan keresahanku padanya. Keresahan hatiku yang mulai menginginkan kehadiran seorang anak.
Tibalah waktunya aku bertemu dan bercerita dengan Mila tentang keresahanku itu. Ia menyarankanku untuk mencoba konsultasi dan promil ke seorang dokter rekomendasi dari keluarganya. Aku pikir ini waktu yang tepat untuk bicara pada Irfan tentang rencana ini. Semoga Irfan sepakat dengan rencanaku.
Dari dalam rumah kudengar deru mobil suamiku memasuki carport. Tak lama kemudian suamiku menutup pintu gerbag. Lalu, ia masuk ke dalam rumah. Hari ini ia pulang dari kantor tepat setelah aku selesai menyiapkan hidangan untuk makan malam kami.
Jam kerjaku lebih pendek dari suamiku, sehingga aku bisa pulang lebih cepat. Terkadang jika suamiku sedang mendapat tugas di luar kantor. Ia akan mampir untuk menjemputku di kampus. Namun, lebih sering aku pulang sendiri dengan taksi online.
Irfan membuka pintu, lalu melepas sepatu dan menyimpannya di rak sepatu.
“Assalamualaikum. Sayang, aku sudah pulang!” Suaranya lantang, tetapi, nadanya penuh kelembutan.
“Waalaikumsalam.” Aku menjawab salamnya, tetapi karena aku masih sibuk mencuci peralatan dapur yang telah digunakan untuk memasak, aku tidak menghampiri suamiku.
“Sayang, kamu di mana?” ucapnya sambil berjalan mencari keberadaanku. Ia lalu berjalan menuju dapur. Lalu, ia berkata, “Oh, istriku yang cantik ada di sini rupanya.” Aku yang sedang mencuci alat memasak yang menoleh dan tersenyum saat menyadari suamiku datang. Irfan mendekat, lalu memelukku dari belakang.
“Eh, suamiku sudah pulang?”
“Aku kangen banget sama kamu, Sayang,” bisiknya ditelingaku. Lembut suaranya. Hatiku meleleh saat mendengar betapa lembutnya Irfan mengucapkan kalimat itu. Aku melepas apron mengelap tangan basahku dan meletakkan di tempatnya, lalu, memutar badan dan melabuhkan tanganku ke lehernya. Aku bisa merasakan tiap embusan napasnya yang membisikkan cinta.
“Baru juga berpisah beberapa jam. Mandi dulu, sana!” Aku melepas pelukannya dan menjauh. Aku berjalan menuju kamar untuk mengganti bajuku yang kotor setelah memasak tadi. Sementara Irfan mengekor di belakangku, lalu ia masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Irfan mandi aku menyiapkan baju ganti untuknya, lalu turun kembali ke ruang makan untuk menunggunya makan bersama.
Di sela-sela waktu makan alam kami saling bertukar cerita tentang kegiatan hai ini. Selalu ada topik baru untuk bercerita dengannya.
“Sayang, waktu bulan lalu aku main ke rumah Ibu. Kebetulan di sana ada Tante Martha lagi berkunjung. “
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya