“Papah, Mamah, dan kamu Mas Toni, aku minta maaf. Ratih sudah berusaha menjadi istri yang baik, juga sudah berusaha mencintai dan memaafkan mas Toni. Tapi, Ratih sudah tidak tahan dengan penderitaan yang menimpa akhir-akhir ini.”
Napas Ratih mulai tersengal, kilau bening di matanya menggelayut mau tumpah. Ratih menyapu dengan punggung tangannya. Setelah mengembuskan napas dengan keras untuk menenangkan gejolak hatinya, dia melanjutkan.
“Ratih minta cerai dan akan menjauh dari kehidupan mas Toni. Hanya itu satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk keselamatan hidupku. Ratih ingin hidup tenang!”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keluarga Sumbogo terdiam dan terkesima. Toni, yang kini sudah kembali sadar dan terlepas dari kendali Erlika, memandang Ratih dengan penuh kesedihan. Namun, tekad Ratih sudah bulat. Setelah semua yang terjadi, Toni merasa tak ada lagi yang bisa mengubah keputusan istrinya. Dia hanya memikirkan kebahagiaan Ratih, meski hatinya remuk.
Tiba-tiba Ratih merasa dunia berputar kencang, perut pun terasa mual, pandangannya mengabur, Ratih terkulai pingsan. Dengan segera Toni menggendong istrinya dibawa ke kamar tidur. Upaya menyadarkan Ratih, dilakukan oleh Arum dan Nìnit. Usaha keduanya berhasil. Perlahan-lahan Ratih membuka mata.
“Bunda … mana Ayah?”
“Sayang, istirahatlah. Apa semalam kamu nggak bisa tidur?” tanya sang Bunda, Ratih mengangguk.
“Tidurlah. Ratih harus kuat ya, Sayang! Bunda di sini, menemanimu.” Arum mencium kening putrinya. Ratih kembali terlelap.
Toni yang sedari tadi duduk di sofa ruang kerja, mengamati Mamah dan Bunda menyadarkan istrinya. Dia bangkit lalu mendekat. Arum bergeser. Toni duduk di bibir pembaringan, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. Perlahan air bening yang menggenangi matanya tumpah.
“Maafkan aku … maafkan aku … harusnya aku yang tersiksa begini. Ratih … aku mencintaimu,” katanya sambil terisak. “Aku akan mendukung apapun keputusanmu. Tapi tidak sekarang, di saat kamu belum sehat.”
Toni terisak tak bisa lagi meneruskan ucapannya. Arum memberikan tisu. Dia mengambil beberapa lembar kemudian menyusut hidung lalu memeluk Arum.
“Bunda … apa yang harus kulakukan? Toni tidak mau kehilangan Ratih!”
“Kita tunggu saja apa keputusan Ratih.” Toni mengangguk.
Setelah Ratih sadar, mereka berkumpul lagi di ruang kerja Toni. Ratih tidak perlu turun tangga, ruang kerja menyatu dengan kamar tidur. Dengan sareh Barman angkat bicara.
“Ratih, Papah tahu kamu pasti punya alasan meminta berpisah dari Toni. Kita semua tahu dan memahami perasaanmu. Kamu telah mengalami hal-hal yang tidak masuk akal dan mengerikan, sekaligus menyakitkan, sampai hampir merenggut nyawamu. Masalah ini harus dipikirkan dengan kepala dingin. Apakah perpisahan sepadan dengan semua penderitaanmu?”
“Semua itu akibat Ratih menjadi istri mas Toni, Pah. Kalau tidak, semua ini tidak akan terjadi! Hanya cerai, itulah satu-satunya jalan!” kata Ratih dengan tegas.
Semua terdiam, argumentasi Ratih sangat masuk akal. Toni sudah bertunangan dengan Erlika, sebelum menikahi Ratih. Di sini status Ratih sebagai orang ketiga yang merebut Toni dari tunangannya. Namun, di saat semua orang hampir menyetujui perceraian, Ratih tiba-tiba tersadar. Sejak tiga bulan lalu — sejak kejadian rudapaksa yang dilakukan Toni — dia belum datang bulan. Keringat dingin mengucur, pandangannya kabur, lalu gelap. Ratih kembali tidak sadarkan diri.
Rangga langsung menggendong, lalu membawa Ratih ke rumah sakit diantar Toni. Barman dan istri mengikuti dengan mobil lain. Bagas dan Yayo bersama bundanya memakai mobil mereka. Toni membawa ke rumah sakit keluarganya agar bisa segera masuk ruang rawat inap dan mendapat perawatan yang intensif.
Dokter masuk sambil membawa hasil laboratorium, lalu memberitahukan hasil tes darah yang menunjukkan Ratih dalam keadaan hamil. Untuk memastikan, akan dilakukan tes USG.
Toni meloncat memeluk Ratih dengan gembira. Ratih diam mematung, otaknya beku tidak bisa berpikir. Toni terus menciumi Ratih sambil berbisik, “aku akan jadi Ayah, Ratih! Kita akan punya anak, anak kita!”
Toni seakan enggan melepas lagi pelukannya. Ratih seperti terbangun dari mimpi indah, senyum bahagia merekah di bibirnya. Perlahan tapi pasti, dia membalas pelukan suaminya sambil menyandarkan kepala dengan manja di dada Toni. Kedua orang tua mereka saling berpelukan sambil berurai air mata bahagia. Bagas dan Yayo saling pandang dengan ekspresi sulit ditebak.
TAMAT
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel