Astaga! Ya Tuhan … aku senang Bu Nawang sayang sama aku, tapi ….
***
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bu Nawang pulang setelah kami menyelesaikan makan siang yang kesorean. Suasana di meja makan kali itu benar-benar tidak nyaman karena selama itu kami tidak saling bicara. Reivan terus berkutat dengan ponselnya, Bu Nawang sibuk mencubiti ayam gorengnya, sementara aku fokus menghitung berapa kunyahan yang kulakukan untuk setiap makanan yang hendak kutelan.
Ketika akhirnya Bu Nawang pulang, barulah Reivan mau bicara denganku. Saat itu kami bahkan belum beranjak dari meja makan.
“Ishana, kamu mau ngomong sesuatu?”
“Tentang apa?”
“Kamu ada utang?”
Aku mengerutkan kening, pura-pura bodoh. Sementara itu, dalam imajinasiku, ada puluhan penabuh drum yang memainkan musik penuh ketegangan, menjadi latar suara yang pas untuk suasana bertensi tinggi di antara kami.
“Enggak.”
“Terus untuk apa kamu sering-sering tarik uang tunai?”
Jadi, untuk menyamarkan transaksi yang mencurigakan, aku selalu berusaha main cantik. Kutarik uang dalam tabungan Reivan dan kuberikan langsung kepada Alston tiap kali ia membutuhkan. Begitulah aku berusaha menghindari terekamnya nama dan nomor rekening Alston di mutasi rekening Reivan.
Tentu saja uang tarikan itu tidak selalu kuberikan semuanya kepada Alston. Sebagian kuberikan juga ke Bu Lia atau ke Dewi untuk kebutuhan operasional di rumah. Sementara itu, kalau aku perlu belanja atau membeli sesuatu, aku pasti langsung membayar dengan cara debet. Uang tunainya kusimpan untuk jaga-jaga jika kuperlukan.
“Untuk kebutuhan rumah dan kebutuhanku, lah.”
Kusadari, jeda antara pertanyaan yang diajukan Reivan dan jawaban yang kuberikan agak terlalu panjang.
“Yakin?”
“Iya … kenapa memangnya?”
“Apa makan di restoran dengan nilai tagihan yang enggak masuk akal untuk satu orang itu termasuk kebutuhanmu? Apa bayar tagihan di barber shop juga termasuk kebutuhanmu? Saya kira kamu senengnya ke salon perempuan, bukan ke tukang cukur laki-laki.”
Aku terkesiap. Astaga! Astaga-astaga-astaga!
Tiba-tiba saja aku teringat, sebulan lalu, ketika Alston baru kembali dari Balikpapan, aku mengajaknya potong rambut. Apa aku bayar pakai debet, ya? Aduh, gawat!
“Berapa total yang terpakai? Aku bisa ganti—”
“Bukan masalah itu,” potong Reivan. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahannya. Keningnya berkerut, wajahnya memerah, sementara tarikan dan embusan napasnya memendek, lebih cepat dari sebelumnya. “Saya cuma minta kamu jujur, Ishana. Kamu enggak ngebiayain hidup laki-laki itu dari uang saya, kan?”
Reivan menggeser ponselnya hingga layarnya menghadap ke arahku. Seketika itu pula aku tahu mengapa dia bisa melacak semua transaksiku. Rupanya Reivan baru saja mengunduh e-statement rekening tabungannya.
Lidahku tiba-tiba saja terkunci dan bibirku merapat satu sama lain. Tidak ada kata-kata yang mau keluar dari mulutku. Meski roda-roda di kepalaku telah merangkai susunan kalimat terbaik yang mungkin bisa kusampaikan, aku tetap membisu.
“Jawab!” Reivan membentakku.
“Dengar, ibunya lagi sakit dan—”
“Kamu gila, ya! Bisa-bisanya kamu ngelakuin itu—”
“Dia lagi kesulitan keuangan—”
“Kamu pikir saya enggak?!” Reivan menggebrak meja. Ia terlihat menakutkan saat itu. “Kamu pikir semua uang yang saya masukkan ke rekening itu muncul sendiri tanpa ada usaha apa-apa? Mikir, Ishana! Bisa-bisanya kamu merhatiin orang lain sementara sama saya kamu malah kayak gini!”
“Ya aku mau bantu tapi kamunya yang enggak mau dibantu!”
Reivan mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Ada kamu tanya ke saya, kamu bisa bantu apa?”
“Kamu bilang itu bukan urusanku. Kamu bilang kamu bisa selesaikan semuanya sendiri. Kamu pilih ngomong sama Rayna dibanding sama aku.”
“Jangan dikit-dikit bawa-bawa Rayna!” Suara Reivan merendah penuh ancaman. “Apa urusan dia dalam hal ini?”
“Dia yang bikin kamu rugi, kan? Tapi kamu enggak bisa marah sama dia, kan? Giliran sama aku—”
“Dia—enggak pakai uangku—untuk ngebiayain—hidup pacarnya!” ujar Reivan sambil mengatupkan gigi dan menekankan jadi telunjuknya ke meja makan tiap kali bicara. “Sekarang kamu cari laki-laki itu, suruh dia bayar dan bawa uangnya ke saya malam ini juga. Jangan pulang kalau kamu enggak bawa uang!”
Sebetulnya bisa saja kutransfer uang itu dari kantongku sendiri, tapi aku tidak menyangka Reivan akan mengusirku. Setega itukah dirinya hanya demi uang yang tidak seberapa? Apakah Reivan juga akan membunuhku kalau aku tidak bisa mengembalikan uang itu?
“Oke.”
Aku mengangguk sambil berdiri lalu berlari mengambil tas yang kutinggalkan di sofa di ruang keluarga. Setelah itu aku kembali ke meja makan seraya membawa kartu ATM yang sempat Reivan pinjamkan.
“Ambil ini!” Kulemparkan kartu ATM itu tepat ke hadapan Reivan. “Kirim nomor rekeningmu, uangnya pasti balik nanti malam.”
“Aku minta uangnya dari dia, bukan dari kamu.”
“Mau dari aku atau dari dia, yang penting sama-sama uang, kan? Itu, kan, yang penting buat kamu? Memang buah enggak jatuh jauh dari pohonnya!”
“Maksud kamu apa?”
Kuabaikan kata-kata Reivan. Alih-alih membiarkannya mendapat jawaban, aku berjalan cepat menuju garasi. Segera kuperintahkan Dewi yang sedang pura-pura tidak menguping untuk membukakan pintu pagar.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya