Novel : Room for Two Bab 11: Kupu-Kupu yang Terbang Terlalu Tinggi
Sebut saja aku tak tahu malu karena kabur dari rumah Reivan dengan memakai mobil pemberiannya. Namun, satu sisi diriku yang tersinggung dengan kata-katanya meyakinkanku, tidak apa-apa jika aku berbuat begitu. Tidak apa-apa, aku berhak menggunakannya. Bagaimanapun, sampai kami bercerai nanti, aku adalah istri sahnya. Jadi tidak ada yang salah jika aku memanfaatkan barang-barangnya.
Alston sudah menungguku di depan pintu garasi rumah kosnya. Kebetulan tempat kosnya menyediakan ruang parkir untuk para penghuni kos yang memiliki mobil, jadi aku bisa memarkirkan mobil yang kukendarai di sana.
Begitu keluar dari mobil, aku langsung menangis sepuasnya. Aku menangis hingga tak sanggup berkata-kata. Untungnya Alston mengerti bahwa aku hanya perlu ditemani. Ia tidak menyela dan tidak banyak bertanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sambil terisak-isak, Alston mengajakku naik ke kamarnya. Kamar kos Alston berada di lantai dua. Yang kumaksud kamar itu sesungguhnya lebih mirip paviliun karena di dalamnya tidak hanya cukup untuk satu ranjang tidur, tapi juga ada dapur dan kamar mandi sendiri.
Sebetulnya, malam itu bukanlah kali pertama aku berkunjung ke kamar kos Alston. Aku sudah sering datang ke sana, baik pagi, siang, ataupun sore. Namun, seingatku aku belum pernah benar-benar berkunjung saat hari sudah gelap. Batasan jam malam dari Mama dan Papa membuatku tidak bisa berlama-lama di sana.
Akan tetapi, semua berbeda setelah aku jadi istri Reivan. Aku yakin, bahkan jika aku harus bermalam pun Mama dan Papa tidak akan mengomeliku. Tidak ada yang bisa mencegahku untuk berada di sana, tidak juga Reivan.
“Kamu udah makan? Aku pesenin makan, ya?”
“Aku enggak mau makan.” Tidak saat aku sedang terluka seperti itu.
Alston menghampiriku. Kami sama-sama duduk di lantai yang beralaskan karpet abu-abu.
“Aku enggak tahan pengin pisah dari Reivan,” kataku kemudian. “Dia bener-bener keterlaluan. Dia ngusir aku, Bee. Dia jahat.”
Pelukan Alston membuat air mataku kembali tumpah. Tiap belaian yang ia daratkan di pucuk kepalaku membuatku makin tersedu-sedu. Aku ingin berlama-lama seperti itu bersama Alston. Aku ingin selalu berada dalam pelukannya. Aku aman di dekat Alston.
“Sekarang aku enggak tahu harus ke mana. Aku enggak mau pulang ke rumah Reivan, aku juga enggak mungkin pulang ke rumah orang tuaku, Bee.”
“Kamu udah di rumah, kok,” cetus Alston. “Tempat ini sekarang jadi rumahmu juga. Tinggal aja di sini, sama aku.”
Aku segera menegakkan badan. Kutatap wajah Alston dan kupandangi kedua bola matanya.
“Aku boleh ikut di sini? Ibu bapak kosmu gimana?”
Alston berdecak. “Aman. Di sini cuma ada sekuriti, asal rutin dikasih rokok sama kopi pasti dia ngerti, kok, Hun.”
Tangan Alston bergerak ke arah wajahku. Ia mengusap pipiku, mungkin untuk mengeringkan sisa-sisa air mata yang masih ada di sana.
“Aku enggak tega lihat kamu sakit seperti ini. Rasanya aku marah, pengin banget aku datangi si Reivan—”
“Jangan!”
“—lalu kutonjok mukanya, dan kuhabisi—”
“Jangan, Bee!”
“—karirnya. Sombong sekali dia, gara-gara uang yang enggak seberapa—”
“Bee, jangan, Bee! Jangan, please.”
Helaan napas Alston yang berat membuatku mengerti, Alston juga pasti tersakiti. Untuk itu saja aku sudah bahagia, senang rasanya memiliki seseorang yang bisa memahami apa yang kurasakan.
“Aku cuma kepingin menyelesaikan satu tahun pernikahanku sama Reivan dengan mulus … supaya nanti aku bisa mulus juga nikah sama kamu, Bee. Kalau kamu bikin ribut sama Reivan, bisa-bisa Papa enggak merestui pernikahan kita. Udah biar aku aja yang menderita hari ini, kamu cukup temani aku di sini.”
“Aku akan selalu ada buat kamu, Hun.”
Itu lebih dari cukup buatku.
***
Pukul sepuluh malam, Reivan mengirimkan pesan WA kepadaku. Ia bertanya aku di mana, tetapi aku memutuskan membalas pesannya dengan, “Kutunggu nomor rekeningmu.” Setelah itu, aku mematikan ponsel.
Sementara Aslton merokok di luar, aku merapikan sedikit-sedikit kamarnya. Kusapu lantainya dan kubersihkan sisa sampah yang berserakan di dekat dapur dan kamar mandi. Jika aku harus bermalam di sana, aku harus memastikan area di sekitar tempat tidurku bersih agar tidak ada kecoak yang menjadikan tubuhku sebagai alas kakinya.
Berikutnya, aku hendak memasukkan baju-baju Alston yang masih terbungkus plastik penatu ke lemari. Namun, aku tidak jadi melakukannya karena kulihat lemari baju Alston nyaris kosong. Tidak banyak tumpukan pakaian di dalamnya.
“Baju-baju kamu ke mana, Bee?”
Aku langsung bertanya ketika Alston kembali ke kamar. Saat ia mendekat, tubuhnya menguarkan aroma asap rokok.
“Oh, kubawa semua ke rumah waktu pulang kemarin. Pas balik ke sini aku buru-buru, jadi kelupaan enggak kebawa lagi. Kenapa?”
Kujelaskan bahwa tadinya aku mau membereskan pakaian Alston sekalian mencari pakaian ganti agar aku bisa tidur lebih nyaman.
“Sementara pakai ini dulu,” kata Alston seraya menyerahkan sebuah t-shirt bertuliskan Denpasar berwarna biru. Ia juga menyuruhku memakai sebuah celana training hitam yang lebih mirip abu-abu karena warnanya yang memudar. “Besok, misalkan kamu masih mau nginep di sini, kamu bisa pulang dulu ambil baju-bajumu. Tapi pastiin dulu si Reivan lagi enggak ada di rumah biar kamu enggak perlu ketemu dia.“
Halaman : 1 2 Selanjutnya