“Biarin aja, bukan urusan kamu.”
“Mau disuruh minum dulu enggak Bu?”
“Enggak usah.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kenapa?”
“Bukan urusan kamu, Dewi! Kenapa kamu selalu penasaran sama urusan saya?”
Aku tidak bermaksud membentak, tetapi nada suaraku yang meninggi tak ayal membuat tubuhnya mengerut seperti ketakutan.
“Saya cuma tanya, Bu.”
Tidak kutimpali lagi kata-katanya. Langsung saja kubawa tas berisi baju-bajuku, laptopku, dan beberapa kosmetikku ke bawah. Mungkin karena takut kumarahi lagi, Dewi tidak banyak bertanya. Ia langsung berinisiatif membukakan pintu gerbang ketika aku keluar lewat pintu garasi.
“Ibu mau pergi berapa hari?” tanya Dewi. Bu Lia, tampak murung di sebelahnya, terkesan ikut menantikan jawabanku.
“Belum tahu, mungkin satu hari, satu minggu, atau satu bulan.”
Setelah itu aku masuk ke mobil dan tidak menoleh lagi ke belakang.
***
Sementara Alston pergi liputan—kuizinkan ia memakai mobilku—aku bekerja di kantor sendirian. Beberapa CC sempat datang untuk mengisi absen sebelum kemudian pergi lagi memburu berita, setelahnya aku hanya duduk sambil memelototi layar CMS, mengatur jadwal tayang beberapa artikel agar tidak ada jam kosong, kemudian menulis beberapa artikel lain untuk dijadwalkan naik sesuai urgensinya.
Saat sedang berkonsentrasi menyusun rangkaian kata di berita yang sedang kutuliskan, telingaku menangkap suara ketukan di pintu depan. Sempat kuabaikan ketukan itu karena bisa jadi itu bukan tamu yang hendak berkunjung ke Sebar Kabar Benar.
Sebagai informasi, SKB tidak memiliki bangunan kantor sendiri. Yang kami sebut kantor sebetulnya adalah sebuah office space yang disewa oleh perusahaan induk media kami. Kebetulan, ada beberapa perusahaan lain yang juga menempati office space yang kami tempati, bahkan ada lembaga pendidikan juga. Jadi, ketika ada suara ketukan, aku tidak serta-merta merespons karena sering kali itu orang yang salah berkunjung.
Akan tetapi, ketika suara ketukan itu menguat, aku terpaksa mengintip ke pintu kaca di depan. Aliran darahku seakan-akan menyusut ketika melihat sosok Reivan di sana. Ingin kuabaikan manusia menyebalkan itu, tapi aku juga takut Reivan akan sengaja menarik perhatian penghuni kantor yang lain.
“Saya dapat telepon dari Bu Lia kalau kamu ambil baju dari rumah.” Reivan langsung bicara begitu aku membuka pintu. Ia tak kuizinkan memasuki area kantor SKB. “Kamu mau ke mana?”
“Kenapa kepo? Bukannya kemarin kamu yang nyuruh aku pergi? Nah, aku udah pergi sekarang. Hepi kamu?”
“Enggak.”
Jawabannya yang tidak terduga itu membuatku bingung harus berkata apa.
“Kamu harus pulang ke rumah malam ini.”
“Enggak.”
“Terus kamu mau ke mana? Ke tempat laki-laki itu? Di mana harga diri kamu—”
“Jangan sembarangan bahas harga diri sama aku, ya, Reivan. Seenaknya aja kamu ngomong gitu setelah kemarin kamu ngusir aku—”
“Kemarin aku marah—”
“Aku juga marah! Sekarang aku marah!”
“Apa yang bikin kamu marah? Cuma gara-gara saya ngusir kamu? Terus kamu pikir saya enggak berhak marah begitu tahu uang yang saya kasih malah kamu pakai buat seneng-seneng sama laki-laki lain?”
“Makanya kutanya berapa totalnya dan kuminta berapa nomor rekeningmu. Udah enggak usah dibahas lagi soal itu, aku mau ganti semuanya.”
Reivan menghela napas, tampak jelas sedang berusaha menenangkan diri. “Kamu enggak nangkep poinnya, ya? Bukan jumlah uangnya yang saya ributin, Ishana, tapi untuk apa dan untuk siapa. Coba bayangin, gimana rasanya kalau uang yang kamu kasih untuk saya, ternyata saya habiskan untuk perempuan lain?”
Oh, aku tidak memikirkan itu sebelumnya.
Kemarin, aku hanya terpaku pada perasaanku sendiri. Aku hanya memikirkan betapa sialnya diriku karena diperlakukan sekasar itu oleh Reivan. Aku sama sekali tidak mau memahami sudut pandangnya, bahkan saat itu pun aku terlalu gengsi untuk mengakuinya.
“Aku enggak peduli, karena bagiku kamu bukan siapa-siapa, dan apa yang kamu mau lakuin sama perempuan lain, siapa pun itu, semua bukan urusanku!”
“Jangan bikin saya tambah marah, Ishana—”
“Atau apa? Atau kamu mau nyiksa aku seperti yang dilakuin bapak kamu ke ibu sama adik kamu? Cuma gara-gara uang kamu mau ngebakar aku supaya aku mati juga kayak mereka? Itu, kan, yang ka—”
Aku tidak pernah sempat menyelesaikan kata-kata itu karena Reivan membisukanku lewat ayunan telapak tangannya. Tidak sakit pada awalnya, tetapi rasa nyeri itu perlahan-lahan menguasaiku dan bermutasi menjadi amarah yang tidak sanggup kukendalikan.
“Berani kamu main tangan sama aku?! Berani kamu pukul aku?!”
“Seharusnya kamu seneng karena saya cuma nampar mulut kamu. Seharusnya kamu dapat yang lebih buruk dari itu.”
“Apa kamu bilang?”
“Kamu enggak mau pulang? Oke, jangan pulang. Selama ini saya bertahan cuma buat ngejaga nama baik kita, tapi sekarang saya enggak peduli lagi. Kamu kepingin kita pisah setelah satu tahun? Enggak usah, saya akan urus perceraian kita sekarang juga. Setelah itu terserah, kamu atur sendiri hidupmu. Mudah-mudahan kamu bahagia.”
Lalu, seperti kedatangannya yang tiba-tiba, Reivan pergi begitu saja. Ia meninggalkanku bersama harga diriku yang hancur berkeping-keping, hingga tak jelas lagi bentuk dan rupanya seperti apa. Aku bahkan tidak tahu harus mulai memungutinya dari kepingan yang mana. []
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya