“Kabari aku begitu kamu sampai di Balikpapan, ya. Kabari aku kondisi ibumu, Bee. Jangan ngilang.”
Alston mengangguk. “Jaga diri baik-baik, ya, Hun.”
Hari itu, rasanya jemariku berat sekali melepas genggaman tangan Alston.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
***
Setelah memaksakan diri memakan makanan pertama yang terpikir untuk kutelan, akhirnya aku kembali ke kamar kos Alston. Kamar itu terasa lebih kosong dan lebih hening tanpa dirinya. Aku masih bisa menghidu aroma parfumnya, aku masih bisa melihat bayangan dan gerak-geriknya, tetapi aku tidak bisa ada di dekatnya.
Ketika sadar bahwa pikiranku berlebihan—demi Tuhan, Hana, Alston hanya mudik menjenguk ibunya, bukan mati dan takkan kembali lagi!—aku segera mengendalikan diri. Kunyalakan teve lalu kuperiksa notifikasi di ponsel. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan Whatsapp yang tak terbalas. Aku segera membuka pesan teratas, dari Mbak Monic.
Dari empat puluhan pesan yang dikirimkan Mbak Monic kepadaku, ada sekitar sepuluh yang isinya menanyakan posisiku. Namun, dua pesan terakhirlah yang kemudian membuat jantungku hampir copot: “Lu nulis apaan di CMS?” dan “Hana, lu di mana, sih? Bokap lu masuk rumkit!”.
Setelah itu, barulah kubaca pesan-pesan di bawahnya. Semua isinya serupa meski tak sama. Mereka menanyakan keberadaanku sekaligus memberi tahu bahwa sejak pagi, Papa masuk rumah sakit karena serangan jantung.
Papa masuk rumah sakit. Sejak pagi. Kena kerangan jantung.
Informasi itu berputar-putar di kepalaku seperti bulan dan bumi yang mengelilingi matahari. Rasanya sulit sekali mencerna kabar itu. Papa? Masuk rumah sakit? Sejak pagi? Kok, aku baru tahu? Oh, tadi pagi, kan, aku sibuk ngurusin Alston. Bisa-bisanya aku sibuk nganterin Alston saat Papa dibawa ke rumah sakit ….
Aku tidak berpikir lagi. Langsung saja kurapikan barang-barangku lalu kukendarai mobil secepat yang bisa kubawa menuju sebuah rumah sakit swasta di daerah Dago. Aplikasi Maps memperkirakan perjalananku ke sana akan memakan waktu 40 menit, untunglah aku bisa memangkasnya kurang lebih menjadi 25 menit saja.
Begitu tiba di rumah sakit, aku langsung berlari menuju kamar tempat Papa mendapat perawatan. Karena sebelumnya Mama, Bu Nawang, dan Mbak Monic sudah mengabari ruang rawat Papa, aku jadi tidak perlu lagi banyak bertanya atau mencari-cari informasi.
“Gimana keadaan Papa?”
Aku menerobos ke kamar rawat Papa dan terkejut karena selain Mama, Bu Nawang, dan Mbak Monic, ada Bang Hadi dan Reivan juga di sana. Mimik wajah Bang Hadi terlihat kusut sementara muka Reivan tampak bengkak sebelah, seperti baru saja kena bogem mentah.
“Hana, kamu enggak apa-apa, Nak?”
Tiba-tiba saja Mama dan Bu Nawang menghampiriku secara bersamaan. Mama memelukku sementara Bu Nawang memeriksa anggota tubuhku satu per satu.
“Eh, memang Hana kenapa? Kan, Papa yang sakit?” Aku berusaha menyingkirkan lengan-lengan yang menyentuh dan merabai tubuhku.
“Papa sakit gara-gara kamu,” celetuk Bang Hadi.
“Gimana maksudnya Papa sakit gara-gara Hana? Emangnya Hana ngapain Papa?”
Sepertinya Mbak Monic menjawab pertanyaanku, tapi aku tidak sempat mendengarnya karena Bang Hadi menarikku keluar dari kamar rawat. Jalannya cepat sekali sampai-sampai aku harus berlari-lari kecil untuk menyamai langkahnya.
“Ayo kita visum.”
Aku benar-benar tidak mengerti. “Visum kenapa, Bang? Buat apa? Memangnya Hana kenapa?”
“Udah enggak usah ngebelain orang itu lagi. Kamu dipukulin Reivan, kan?”
Hah?
Aku ingin mengiyakan pertanyaan Bang Hadi, tetapi pertanyaannya itu tidak tepat. Kemarin aku memang dipukul Reivan, tapi bukan dipukuli. Ada makna tindakan yang berulang dalam kata dipukuli, tidak benar rasanya jika aku harus membenarkan hal itu.
“Enggak, Bang.”
“Tapi Abang baca beritanya kalau kamu dipukulin sama dia. Papa juga masuk rumah sakit karena kaget baca berita itu.”
Serta-merta potongan puzzle di kepalaku saling bersatu menjadi rangkaian gambar yang utuh. Berita yang dituliskan Alston, tamparan Reivan, pertanyaan Mbak Monic, lebam di wajah Reivan … semua pasti ada hubungannya.
“Abang pukul Reivan, ya?” Aku malah balik bertanya, takut sendiri mendengar jawaban dari mulut Bang Hadi.
“Harusnya dia dapat lebih dari itu. Harusnya Abang bikin dia babak belur sekalian, berani-beraninya dia main kasar sama perempuan.”
Gawat-gawat-gawat! Berita apa yang sebetulnya ditulis Alston? Kenapa bisa jadi serepot itu urusannya sampai-sampai Reivan pun kena getahnya? []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2