Sambil menangis, kujelaskan semuanya kepada Mbak Monic. Kusampaikan secara tidak berurutan mulai dari kedatangan Reivan ke kantor SKB, ke saldo kartu ATM Reivan yang kuhabiskan, ke tamparan Reivan, ke hubungan Reivan dengan mantan kekasihnya, ke rencana pernikahan kami yang hanya satu tahun, ke tingkah pembantu-pembantunya, ke rencana balas dendam yang diusulkan Alston, hingga ke berita yang tahu-tahu sudah ia unggah tanpa sepengetahuanku.
Mbak Monic mendengarkan dengan tekun. Ia tidak menyela dan tidak bicara. Hanya ekspresi wajahnya yang berubah-ubah sajalah yang menggambarkan, betapa mungkin dirinya merasa jijik dengan kelakukanku yang masih menjalin hubungan dengan Alston meski sudah berstatus istri dari suamiku sendiri.
“Hana! Hana! Kamu kenapa?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mama dan Bu Nawang berlari-lari kecil ke arahku. Aku buru-buru menghapus air mata dan berusaha bangkit dari posisi dudukku yang tak bertenaga di lantai. Namun, keduanya lebih dulu menghampiriku.
“Kenapa dia? Kenapa Hana?”
“Enggak kenapa-kenapa, Bu, tadi dia cuma cerita sambil nangis ….”
“Hana? Kamu sakit, ya, Nak?”
“Kita bawa dia ke dokter sekalian visum, ya?”
“Kenapa Ishana?”
“Minggir! Jangan ikut campur, ya, sekali lagi kamu pukul dia—”
“Saya cuma mau lihat istri saya, Bang—”
“Lihat istri mulutmu!”
“Hadi, setop! Hadi, jangan! Hadi!”
Lalu, suara-suara itu memelan begitu saja. Bersamaan dengan itu, sosok Mama, Bu Nawang, Bang Hadi, Mbak Monic, Reivan, dan beberapa orang lain di sekitar mereka tiba-tiba mengecil. Entah apakah aku yang menjauhi mereka atau mereka yang menjauhiku, aku tak mengerti. Yang jelas, ketika aku berusaha mencari pegangan sebelum terjengkang dan kehilangan fokus dalam pandangan, aku ingat menggumamkan, “Gawat!”.
Rumah tanggaku siaga satu. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2