Novel : Room for Two Bab 16: Foto Keluarga Bahagia
Dan kukira sandiwara Reivan akan berakhir begitu pintu kamarnya menutup di balik punggungku. Namun, ia masih melanjutkannya meski hanya ada mataku dan matanya di ruangan itu.
“Kamu tidur di mana?”
“Saya bisa tidur di sini,” jawabnya, kembali ke setelan pabrik dengan menyebut dirinya sendiri sebagai saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Di sana, kan, enggak ada kasur. Udah aku balik ke kamarku aja, toh ibumu enggak akan lihat kalau kita tidur masing-masing, kan?”
“Enggak apa-apa, kamu tidur di sini, saya bisa tidur di mana aja.”
Reivan menanggalkan t-shirt yang ia kenakan, menyisakan kaus dalam putih sebagai satu-satunya kain yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Tato RV di bawah lehernya langsung mengintip, mengingatkanku kepada Rayna. Memikirkan nama itu saja langsung membuatku kesal meski tidak ada penjelasan yang masuk akal.
“Kamu udah minta ganti rugi sama Rayna?”
Begitu terucap, aku langsung tahu itu pertanyaan yang keliru untuk disampaikan di hari pertama kami mencoba berbaikan. Namun, mulut kurang ajarku memang tidak bisa disuruh menahan diri. Apalagi jika emosiku sudah campur tangan.
“Saya sudah bilang, kita enggak perlu bahas apa-apa lagi.”
“Kita harus bahas, Reivan. Kita belum nyelesein apa-apa. Maksudku, kamu cuma pura-pura baik, kan? Kamu masih mau nagih uang itu dari aku, kan? Supaya adil kamu juga harus nagih ke pacarmu itu.”
Reivan berdiri diam memunggungiku. Tanpa melihatku, ia berkata, “Saya udah enggak mempermasalahkan soal uang, Ishana. Tentang Rayna … biar itu jadi urusan saya, ya. Urusanmu cukup sehat dan bahagia aja sampai pernikahan kita selesai.”
Ia lalu berbalik. Aku terkejut melihatnya tersenyum. Reivan tersenyum kepadaku! Itu jelas bukan kelakuan normalnya.
“Mulai sekarang, apa pun yang kamu mau, saya akan turuti. Apa pun yang kamu butuhkan, saya akan siapkan. Hal-hal selain itu, tolong kamu abaikan dan lupakan. Udah, sekarang kamu tidur, ya.”
Tentu saja itu tidak seperti Reivan yang kukenal. Ke mana amarahnya? Ke mana sikap judesnya? Ke mana pula kata-kata pedasnya yang kerap terlontar saat kami adu suara?
“Kamu diomongin apa sama Bang Hadi?”
Wajah Reivan memucat. Sepertinya peluru yang kutembakkan tepat mengenai sasaran.
“Kamu diancam apa sama abangku?”
“Saya enggak diancam apa-apa—”
“Bohong. Aku kenal Bang Hadi, aku tahu dia seperti apa. Dia pasti disuruh Papa juga. Apa yang dia bilang sama kamu?”
Reivan berdecak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjalan menuju ruang kerjanya. Aku, yang tidak mau diabaikan begitu saja olehnya, langsung berlari dan menarik tangannya.
“Kamu kenapa, sih, Reivan? Ini enggak seperti kamu! Aku minta maaf aku udah bikin kamu dimarahin sama Papa dan Bang Hadi—”
“Ssh!”
“Ini semua gara-gara aku! Aku yang salah, aku yang bikin keributan tapi malah kamu yang kena batunya—”
“Setop, setop. Ishana, kamu enggak usah minta maaf kayak gitu. Saya yang salah, sudah, ya? Saya terlalu pelit, saya terlalu ngatur, saya juga … kasar. Sekarang saya akan ikuti apa pun yang kamu mau. Kamu mau sama Alston? Silakan, saya janji enggak akan ikut campur lagi.”
Percuma! Alston sedang tidak ada di dekatku, diizinkan pun aku tidak bisa menjumpainya.
“Tolong, kamu baru sehat, kamu perlu istirahat. Kita semua perlu istirahat.”
Tapi aku tidak mau istirahat sebelum Reivan kembali seperti semula. Aku harus berpikir cepat. Bahasan apa yang kira-kira bisa membuatnya murka? Rayna? Tidak berhasil. Utang-utangku? Dia baru saja mengikhlaskannya. Soal artikel, Papa, dan Bang Hadi? Tidak, Reivan memilih memaafkan dan melupakan itu semua. Ah, aku tahu!
“Sepertinya aku jauh lebih beruntung daripada ibumu, ya? Ternyata aku enggak sampai harus mati terbakar karena ambil uang kamu, padahal kamu udah bilang seharusnya aku dapat yang lebih dari itu.”
Aku keterlaluan … aku tahu aku keterlaluan. Tapi kalau Reivan tidak terpancing dengan kalimatku yang provokatif itu, aku yakin sepenuhnya Reivan sedang tidak baik-baik saja. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terpaksa bertingkah “manis” kepadaku.
Sesuai harapanku, raut wajah Reivan mengeras. Jika aku sampai ditampar untuk yang kedua kalinya, maka itu akan menjadi bayaran yang pas untuk semua keributan yang telah kutimbulkan dan penyesalan yang kurasakan.
Akan tetapi, Reivan malah meraih pergelangan tanganku dan menuntunku ke kasur. Ia mendudukkanku ke ranjang lalu ikut mengambil tempat dengan duduk di sampingku.
“Ada lagi yang mau kamu omongin?” tanyanya ramah. Antara ekspresi di wajahnya dan nada yang keluar dari mulutnya kurasa tidak berimbang, penuh dengan kepalsuan.
“Iya. Kamu berengsek, kayak bapakmu.”
“Saya terima.”
“Aku nyesel nikah sama kamu.”
“Sebentar lagi kamu bisa bebas dari saya.”
“Aku sebel karena kamu pura-pura baik sama aku.”
“Kapan?”
“Sekarang!”
Reivan menggeleng. “Enggak. Saya selalu baik sama kamu, Ishana, mungkin kamu terlalu membenci saya sampai enggak sadar semua itu. Hanya satu kali saya kasar sama kamu, dan saya menyesal. Sejak hari itu saya betul-betul menyesal. Saya minta maaf. Dan sikap saya ke kamu sekarang enggak ada sangkut pautnya dengan Papa atau Bang Hadi atau siapa pun.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya