Novel : Room for Two Bab 17: Serangan Berbau Busuk
Salah satu kelebihan Reivan yang baru kuketahui adalah, ia merupakan seorang aktor kawakan yang terjebak sebagai pekerja kantoran. Ia bisa bersikap baik-baik saja keesokan harinya, seakan-akan tidak pernah ada pembahasan yang membuat perasaannya terluka. Ia juga tetap beraktivitas seperti biasa; bangun, lari pagi, sarapan, berangkat kerja, pulang, dan tidur, seolah-olah begitulah yang biasanya terjadi. Sementara aku … aku masih dilanda kekhawatiran sebab Alston tak kunjung memberikan kabar atau jawaban yang menenangkan perasaanku.
Tidak seperti sebelumnya, belakangan pesan-pesan yang kukirimkan ke Alston tidak ada yang terkirim. Semua hanya centang satu dan tidak ada yang berganti warna menjadi biru. Ketika kuhubungi lewat panggilan biasa, nomor teleponnya ternyata tidak aktif.
Jika hanya satu atau dua hari mungkin aku akan baik-baik saja. Namun, dua minggu sudah berlalu. Rasa cemasku telah berubah menjadi kecurigaan dan ketakutan. Hal itu berdampak pula pada mood-ku yang amburadul dan nafsu makanku yang menurun. Meski Bu Nawang dan Bu Lia selalu menyajikan makanan rumahan yang menggugah selera, nyatanya aku tidak bisa menelannya barang sedikit pun. Segala hal tentang Alston benar-benar menyita kewarasanku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bu, Hana ada jadwal liputan sore ini. Ibu makan malam sendiri di rumah enggak apa-apa, kan?”
Bu Nawang yang sedang bersantai di kamar tamu di lantai satu langsung menghampiriku. Tanpa sengaja aku mundur beberapa langkah. Aroma parfum Bu Nawang terlalu menyengat di hidungku.
“Kamu makan dulu, Hana. Seharian ini Ibu lihat kamu enggak makan apa-apa padahal biasanya kamu doyan ngemil. Kamu sakit, ya?”
“Enggak, kok, Bu.”
Sejak tidak lagi memegang akses CMS SKB, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Bu Nawang. Aku tidak wajib datang ke kantor untuk mengisi presensi, sepanjang ada artikel yang kusetorkan ke Mbak Monic atau Mas Jun, maka aku akan dianggap hadir dan bekerja. Mungkin karena saking banyaknya waktu yang kuhabiskan bersamanya, Bu Nawang pun jadi menyadari kebiasaanku.
“Pucet, lho, kamu,” kata Bu Nawang lagi, kali itu sambil merapikan rambutku. “Pakai lipstik sedikit, ya. Ada yang antar enggak?”
“Hana bisa nyetir sendiri.”
Bertepatan dengan itu, mobil Reivan meraung-raung di luar. Sesuai dugaanku, Bu Nawang langsung meminta putranya untuk mengantarku liputan, padahal belum juga Reivan duduk dan menghela napas.
“Liputan ke mana?” tanyanya sambil menaruh bungkusan di meja makan. Baunya sungguh tidak enak hingga membuatku mual bukan kepalang.
“Apa itu yang di plastik?” Lubang hidung yang kututup dengan jari membuat suaraku sengau.
“Bakso pesenan Ibu. Kenapa?”
“Bau, ih! Basi kali, tuh!”
Reivan membuka bungkusan yang ia bawa lalu mengeluarkan dua kotak karton berisi bakso tahu dan teman-temannya. Seketika itu pula, aroma busuk yang lebih menyengat menyerbu penciumanku, mendatangkan mual yang tak bisa kutahan-tahan.
Aku segera berlari ke kamar mandi tamu dan memuntahkan air dari lambungku ke kloset. Bahkan hingga beberapa menit kemudian, bau bakso tahu itu masih terbayang di kepalaku dan membuatku sakit perut.
“Masuk angin kali Hana ….” Bu Nawang menghampiriku sambil memijat-mijat tengkukku. “Udah jangan liputan dulu, ya.”
“Mau periksa ke dokter?”
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan Reivan. Tidak, sepertinya bukan dokter yang kubutuhkan.
“Istrimu ini dari pagi enggak makan, lho, Van. Ibu suruh makan katanya enggak lapar. Iya, deh, bawa ke dokter aja. Ibu khawatir.”
Reivan mengangguk menuruti perintah ibunya. Namun, aku kembali menggeleng. Setelah mampu menguasai diri, kusampaikan kepada Bu Nawang dan Reivan bahwa aku membatalkan rencana liputan.
“Tapi aku harus kasih kabar dulu ke Mbak Monic, udah gitu mau baringan dulu sebentar.”
Tanpa diminta, Reivan segera mendampingiku ke kamar. Ia membantuku berbaring di kasur dan menanyakan bantuan apa lagi yang bisa ia berikan.
“Tolong minta Bu Lia bikinin air panas buat kompres, ya?”
“Air panas ada di sini, saya bikin kompresan dari handuk—”
“Aku maunya air panasnya di botol. Botol kaca kalau bisa. Tolong kamu bilang ke Bu Lia atau Dewi.”
“Oke ….”
Reivan sempat melempar tatapan penuh tanya kepadaku sebelum pergi menghilang ke luar kamar. Begitu sosoknya tidak terlihat lagi, aku buru-buru mengunci pintu kamar Reivan dan mengaduk-aduk isi tas, mencari ponsel. Dengan perasaan berkecamuk, kuhubungi nomor telepon Mbak Monic. Ia mengangkat panggilanku pada dering ketiga.
“Iya, Han? Lu udah di lokasi, kan?”
“Mbak, aku enggak bisa liputan.”
“Kok, ngedadak gitu, sih, Han? Enggak enak, lah, sama yang ngundang,” keluh Mbak Monic. Ia berulang kali menyebutkan nama salah satu penyiar radio yang telah mengirimkan undangan press conference peresmian sebuah restoran MICE di Jalan Diponegoro. “Tau gitu gue tinggalin liputan yang ini, ah, elu, mah!”
“Mbak, denger aku dulu. Mbak inget, enggak, waktu Mbak Mon hamil Bagas tanda-tandanya gimana aja?”
Halaman : 1 2 Selanjutnya