Novel : Room for Two Bab 18: Bagaimana Jika, Misalkan, Apabila, dan Seandainya
Sepanjang sisa malam itu, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku terus bergerak-gerak gelisah di kasur dan kurasa kegelisahanku terdeteksi oleh Reivan.
Suamiku itu masih tidur di kasur yang sama denganku, dibatasi oleh guling yang sama pula. Aku yang memaksanya. Bukan karena aku takut tidur sendiri, tapi karena tidak enak hati membiarkan yang punya rumah mengalah kepada tamu-tamunya.
Selama itu, gaya tidur kami selalu sama, aku bebas berbalik ke kanan dan kiri sementara Reivan bertahan di satu posisi. Ia kerap memunggungiku sembari memamerkan tato RV-nya yang penuh misteri. Bahkan melihat tato itu saja membuatku kesal dengan alasan yang tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Aku benci lihat tato itu.”
Reivan langsung menarik selimut dan membungkus tubuhnya tanpa bicara apa-apa. Sejak kami kembali ke rumah hingga bersama-sama berbaring di ranjang yang sama, ia tidak banyak bicara.
“Apa, sih, arti tato itu?”
“Bukan apa-apa,” jawabnya.
“Inisial nama Rayna, ya?”
“Bukan.”
“Bisa enggak, sih, kamu tidurnya enggak munggungin aku terus? Aku berasa lagi ngomong sama alat peraga.”
Sebetulnya aku tidak berharap Reivan akan berbalik badan. Namun, ketika ia langsung melakukan hal itu sejak permintaan pertama, jantungku pun langsung berdebar tidak keruan. Aku salah tingkah karena harus bertatapan begitu lekat dengan Reivan. Bahkan embusan napasnya terasa dekat dan hangat ke kulitku.
“Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?” Kuharap Reivan tidak mendengar kegugupan dalam nada suaraku. “Ada yang aneh?”
“Enggak,” jawabnya sembari memejamkan mata, seperti sengaja membiarkanku menikmati keindahan lukisan Tuhan di wajahnya.
Kumanfaatkan kesempatan itu untuk menelanjangi wajah Reivan dengan rakus, karena mungkin hanya saat itu aku bisa bebas melihat mukanya tanpa merasa sedang diintimidasi olehnya. Kutelusuri garis wajahnya yang tegas, naik ke lekuk bibirnya yang tipis, ke orengnya yang bersaput anak-anak kumis, lalu ke hidungnya yang tinggi. Kupandangi kelopak matanya yang menutup, ada andeng-andeng hitam kecil di lipatan kelopak mata kirinya yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Kemudian kucari lekuk tajam di pipi-pipinya. Namun, malam itu rupanya mereka memilih bersembunyi.
Tatapanku tak lepas dari wajah Reivan yang tampan. Namun, makin lama kuperhatikan, hatiku malah makin perih tak terperi.
Belakangan Reivan sangat baik kepadaku. Tidak, bukan hanya belakangan, tapi Reivan memang selalu baik kepadaku. Sejak kami menikah, Reivan tidak pernah dengan sengaja melukai perasaanku. Akulah yang selalu menyakiti perasaannya, tetapi aku jugalah yang selalu mendahuluinya marah sebelum ia memarahiku.
Lalu bagaimana jika aku kembali menyakitinya? Bagaimana reaksinya jika tahu aku tengah berbadan dua? Tidak-tidak, aku tidak boleh berpikir begitu sebelum aku benar-benar melakukan pengecekan besok pagi. Tapi … bagaimana jika hasilnya betul-betul positif? Bagaimana jika aku betul-betul hamil? Akankah Reivan mempertahankan pernikahan kami? Akankah aku diusir dari rumahnya? Apakah hal itu akan terjadi lagi?
Membayangkan itu, air mata langsung membanjiri kedua pipiku. Aku benar-benar tidak berani membayangkan jika harus hidup sendirian dengan bayi dalam perutku. Sendirian, tanpa Reivan atau Alston. Tidak, aku tidak mau. Aku tidak mau!
Tak ingin Reivan memergokiku sedang menangis, aku langsung berbalik badan memunggungi Reivan. Sambil menahan air mata yang tak tertahankan, kembali kucoba menghubungi Alston dan mengirimkan pesan kepadanya.
Bee, kapan balik ke Bandung?
Please aku butuh kamu, aku bingung
Aku mungkin hamil
Tapi aku belum cek
Gimana kalau aku hamil?
Ini anak kamu
Kamu mau tanggung jawab, kan, Bee?
Please, kamu ngilang, Bee
Aku takut
Jawab Bee
“Ishana? Lagi ada yang dirasa, ya? Ayo kita ke dokter.”
Aku menggeleng dan langsung memejamkan mata rapat-rapat, seolah-olah itu bisa menghentikan laju kesedihan yang masih mengalir di wajahku.
“Ishana?”
Berikutnya buru-buru kusembunyikan ponsel ke balik bantal, berharap keajaiban akan muncul ketika aku kembali membuka layar. Namun, hingga matahari menampakkan diri keesokan harinya, pesan-pesanku untuk Alston masih tetap begitu. Tidak terkirim, karenanya tidak ada pesan balasan.
***
Reivan sedang di kamar mandi kamarnya ketika aku bangun pagi itu. Karena tidak mau menunggu, aku memilih pergi ke kamar mandi tamu di luar untuk membuktikan kecurigaannku.
Kubawa semua test pack dalam kantung celanaku. Kubaca aturannya dengan saksama. Mudah saja, aku hanya perlu menampung urine pertama di pagi hari, menyelupkan strip uji ke dalamnya, lalu menunggu hingga hasilnya keluar. Meski baru pertama kali, aku akan bisa melakukannya.
Berusaha tidak membuat suara, aku melakukan tiap tahapan dengan sangat berhati-hati. Setelahnya, kubuka tiap bungkus test pack dan kupastikan semuanya telah mendapatkan sampel urine yang cukup. Demi bukti yang akurat dan meyakinkan, aku harus punya lebih dari satu alat tes kehamilan. Lima mungkin akan membantuku meyakini hasilnya dengan lebih lapang dada.
Halaman : 1 2 Selanjutnya