Satu detik, dua detik, tiga detik …. Kemasan pembungkus alat uji kehamilan itu menyuruhku menunggu kurang lebih 3 menit, tapi mungkin sudah 5 menit berlalu dan aku tidak berani mengintip bahkan melihat hasilnya. Bagaimana kalau positif? Bagaimana kalau hamil? Apa yang harus kulakuan?
Aku terduduk di kloset sambil berusaha mengatur napas. Masa-masa menunggu itu benar-benar menyiksaku. Jantungku berdetak liar. Keringat pun bercucuran. Sungguh aku ingin ada seseorang yang menenangkanku saat itu.
Setelah beberapa waktu, aku memberanikan diri mengambil satu strip uji. Kudekatkan strip itu ke arah pandangananku, tanganku bergetar hebat saat memegangnya. Kupejamkan mata sesaat. Setelah menarik napas berkali-kali, barulah kubuka kedua kelopak mata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Garis dua.
Tidak!
Kulempar strip itu lalu kuambil strip uji yang lain. Garis dua. Garis dua. Garis dua. Semua garis dua.
Tidak-tidak-tidak! Ini tidak boleh terjadi! Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan sekarang?
“Ishana? Kamu di dalam?”
Seruan Reivan membuatku panik bukan kepalang.
“Ishana? Saya mau berangkat. Mau sarapan bareng?”
Aku buru-buru merapikan sisa-sisa pemeriksaan dan bergegas keluar sebelum Reivan memanggilku untuk yang ketiga kalinya. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Reivan sedang berdiri menungguku di depan pintu. Aku langsung meremas semua strip uji itu lalu memasukkannya ke saku celana.
“Aku … aku mau tiduran lagi.”
Reivan tidak mengalihkan pandangannya dari wajahku. Lalu, tiba-tiba saja ia menarik tanganku. “Kita ke dokter. Sekarang.”
Kutepis tangan Reivan. “Jangan sembarangan pegang-pegang!”
“Kamu harus berobat—”
“Berobat-berobat … itu terus yang kamu omongin dari semalem. Siapa bilang aku sakit? Kalau kamu mau berangkat, berangkat aja sana. Aku lagi enggak mood sarapan.”
“Kamu kenapa, sih? Dari semalem aneh banget, marah-marah terus. Saya salah apa?”
Mulutku sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Apa salah Reivan? Tidak ada. Lalu mengapa aku terus memarahinya? Tidak tahu, aku hanya ingin marah. Aku hanya ingin marah-marah.
Kuembuskan napas kuat-kuat. “Maaf. Aku … aku baik-baik aja. Sekarang aku mau mandi dulu, kamu bisa berangkat, enggak usah nunggu.”
“Hari ini kamu ada jadwal liputan?”
“Belum tau.”
Reivan mengangguk sambil terus menganalisa wajahku. Adakah dia mendeteksi kekalutan dan ketakutan dalam ekspresiku?
“Kabari kalau kamu mau pergi. Jangan bawa mobil sendiri.”
“Nanti kukabari.”
Begitu Reivan pergi, aku langsung masuk membasuh diri di kamar mandi. Kuharap air yang mengucur dapat melunturkan dosa-dosaku, membatalkan perbuatan gila yang kulakukan beberapa waktu lalu.
Bersama tumpahan air dari atas kepalaku itu, mengalir pula tangisanku. Luruh pula pertahanan diriku. Penyesalan perlahan-lahan menyelimuti tubuhku.
Demi Tuhan … anak dalam kandunganku, dia bukan anak Reivan. Anak itu anak Alston, anak dari lelaki yang kuizinkan meniduriku saat aku melarikan diri.
Sungguh hari itu aku merasa jijik terhadap diriku sendiri. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2