Novel : Room for Two Bab 19: Jadi Gila tapi Sia-Sia
Meski Bu Nawang memanggilku berkali-kali, tapi aku tidak beranjak dari kasur. Sungguh, aku sedang tidak ingin beramah-tamah dengannya. Aku juga sedang tidak memiliki tenaga untuk menjelaskan bahwa aku tidak sakit dan aku tidak lapar. Yang kuinginkan saat itu hanyalah waktu sendirian. Aku bahkan tidak mengizinkan Dewi untuk membersihkan kamar tidur Reivan selain memunguti pakaian kotor yang kami tinggalkan di kamar mandi.
Aku mengebom Alston dengan ratusan pesan tak terkirim dan puluhan telepon tak tersambung. Aku tidak lagi ingin menanyakan kabarnya, tetapi hanya ingin ia menjawab dan memberikan jaminan bahwa dirinya akan segera kembali ke Bandung untuk mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Empat bulan sebelum aku berpisah dengan Reivan, jika ia tidak muncul ke hadapanku maka aku yang harus mendatanginya.
Sialnya, aku tidak punya alamat rumah Alston di Balikpapan. Aku juga tidak punya nomor telepon ayahnya atau ibunya. Aku tidak menemukan jejak foto keluarganya di media-media sosial Alston manapun yang berteman denganku. Makin lama mencari makin aku menyadari, aku tidak tahu apa-apa tentang kekasihku sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Satu-satunya alamat yang kumiliki adalah alamat rumah kos Alston. Aku tidak lagi mendatangi rumah kos itu setelah Papa masuk rumah sakit. Mungkin aku harus memulai pencarian dari sana.
Melanggar janjiku sendiri, aku diam-diam pergi meninggalkan rumah. Tak kubawa mobil untuk menghindari rasa penasaran dari ibu mertuaku yang kadang tidak bisa kubendung saking banyaknya. Setelah agak jauh meninggalkan rumah Reivan, barulah kupesan taksi online.
Selama 20 menit perjalanan yang kutempuh ke kosan Alston, rasa takut terus berkecamuk dalam pikiranku. Berbagai pengandaian berseliweran di dalamnya bagai peri yang terbang ke sana kemari sembari menaburkan bubuk penyesalan.
Seandainya saja waktu itu aku tidak menginap di rumah kos Alston, seandainya aku tidak mengizinkannya menjamahi tubuhku, seandainya aku memaksa ikut ke Balikpapan … apakah semuanya akan berbeda? Mungkin iya. Mungkin aku tidak akan mengandung anak Alston dan mungkin aku tidak akan terperangkap dalam kepelikan seorang diri. Namun, semua telanjur terjadi. Aku harus berjalan maju sebelum perutku membuncit dan keadaan menjadi makin sulit.
“Mau ke mana, Mbak?”
Seorang sekuriti mencegat sebelum aku memasuki gerbang rumah kos Alston. Aku langsung mengenali sekuriti itu, sepertinya ia pun demikian.
“Mbak ini yang suka datang ke Mas Alston, ya? Mas Alston-nya ke mana? Saya diminta yang punya kosan untuk nagih bulanan kamarnya.”
“Maksudnya?”
“Mas Alston harusnya bayar perpanjangan kamar sejak tanggal 25 bulan kemarin, tapi katanya dia enggak bisa dihubungi. Ini saya dititipin pesan sama Ibu Kos, kalau sampai bulan ini dia enggak bayar, kamarnya mau dikasihkan ke orang lain. Itu, barang-barangnya juga udah dirapihin.”
Aku mengikuti arah telunjuknya ke tumpukan kardus yang bertuliskan “Alston Kamar 17”. Di sebelahnya ada beberapa kardus lain yang ditulisi nama dan nomor kamar berbeda. Kardus-kardus itu sudah pasti milik mantan penghuni kos yang menghilang tanpa sempat merapikan barang-barangnya.
“Ibu Kos punya alamat orang tuanya, kan, Pak?”
Sekuriti itu mengambil sebuah buku dan membuka lembarannya. Ia berhenti ketika menemukan catatan apa pun yang ia cari.
“Alamat rumahnya enggak ada, tapi ada nomor telepon lain di sini. Ini juga udah saya hubungi.”
“Nyambung, Pak?”
“Nyambung, tapi katanya enggak tahu-menahu kalau soal kamar kos Mas Alston. Sama orang itu saya disuruh telepon ke Mas Alston, tapi, kan, Mas Alston-nya enggak bisa dihubungi.”
Aku memutuskan tetap mencatat nomor telepon itu dan menyimpannya ke buku telepon. Segera setelahnya aku berpamitan.
“Tunggu, Mbak, ini barang-barangnya gimana? Kamar kosnya mau dilanjutin apa enggak?”
“Apa aja isi kardusnya, Pak?”
“Ya enggak tahu, bukan saya yang beresin.”
Aku terdiam sebentar lalu memutuskan mengizinkan sekuriti itu untuk memiliki barang apa pun yang tersimpan di dalam kardus. Aku sangat yakin tidak barang ada yang penting di sana, sebab setelah kupikir-pikir—aku ingat lemarinya yang kosong dan pakaiannya yang tetap dibiarkan terbungkus dalam plastik penatu—sepertinya Alston memang berniat meninggalkan Bandung sejak terakhir kali ia pulang ke Balikpapan.
Setelah meninggalkan rumah kos Alston, aku pergi ke sebuah kedai kopi yang sepi. Di sana aku berusaha menghubungi nomor telepon yang baru saja kuterima tanpa tahu siapa yang akan kuajak bicara.
“Halo?”
Jantungku berdegup kencang ketika suara seorang perempuan menyapa dari balik sambungan telepon. Apakah itu ibunya Alston? Suaranya terdengar terlalu sehat untuk seseorang yang katanya sedang sakit.
Berusaha menepikan pertanyaan-pertanyaan tidak penting dalam kepalaku, aku segera menyapa perempuan itu. Kutanya apakah nomor yang kuhubungi itu adalah nomor anggota keluarga Alston, perempuan itu langsung membenarkan. Secercah harapan membuncah dalam dadaku.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya