“Saya ibunya. Ada apa?”
“Bisa bicara dengan Alston, Bu?”
“Alston enggak ada di sini, di rumah sakit.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alston? Sakit? Aku mulai bingung sendiri. Bukankah ibunya yang sakit? Tapi perempuan itu menyebut dirinya ibunya Alston dan terdengar baik-baik saja.
“Siapa yang sakit, Bu?”
“Anaknya itu, lah, sakit. Ini siapa yang telepon?”
“Saya Ishana.”
“Bukan dari kantor?”
“Bukan, Bu, saya … temen deketnya.”
“Mbak, kalau ada urusan tagihan utang dan lain-lain, saya enggak tahu, ya. Nanti kamu ngomong sendiri sama Alston. Telepon aja ke nomornya.”
Lalu sambungan telepon itu terputus sepihak sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ketika kuhubungi sekali lagi, panggilanku diabaikan begitu saja.
***
Seharusnya aku langsung pulang, tapi aku malah sengaja berlama-lama di kedai kopi yang sama, tidak tahu mau melakukan apa. Aku sudah memesan dua gelas kopi dan menghabiskannya. Aku juga sudah kenyang menangis dan berhenti menangis sambil memikirkan cara terbaik untuk menggugurkan kandungan tanpa menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan. Namun, aku tidak punya cukup nyali untuk melakukannya.
Karena bingung harus melakukan apa lagi, akhirnya kuputuskan mendatangi kantor SKB. Kuharap di sana aku bisa sendirian, tapi nyatanya aku malah bertemu dengan Mbak Monic, orang yang paling tidak ingin kutemui.
“Hanaaa! Tumben ke kantor enggak bilang dulu!”
Mbak Monic menghampiriku. Ia memeluk dan mengecup kedua pipiku secara bergantian.
“Kenapa cemberut? Ibu hamil tuh enggak boleh banyak pikiran—”
“Boleh aku ikut tiduran, Mbak? Aku pusing.”
Tanpa menunggu izin dari Mbak Monic, aku berjalan melewatinya menuju bilik tempatku bekerja. Di sana, aku langsung membaringkan kepala di atas meja.
“Emang kalau bulan-bulan awal kehamilan tuh pusing, Han. Tapi kalau pusing gitu seharusnya elu di rumah aja, enggak usah ngantor. Kan, lu masih bisa setoran dari rumah.”
“Iya, Mbak. Aku tiduran sebentar, ya.”
“Kamu enggak sakit, kan?”
Pertanyaan itu tidak kujawab. Aku hanya diam sambil mengingat kembali kali terakhir aku berada di kantor SKB. Waktu itu Reivan datang untuk menjemputku, tetapi aku malah memancing amarahnya dan membuatnya murka.
Seandainya waktu itu aku mau ikut bersamanya, mungkin aku tidak perlu kembali ke kosan Alston. Mungkin aku dan Alston tidak akan perlu melakukannya lagi. Mungkin janin dalam perutku tidak perlu ada.
Lalu … bagaimana caraku menyampaikan aib ini kepada Reivan? Haruskah aku jujur saja? Atau apakah lebih baik kusembunyikan semuanya sampai kami berpisah? Tapi bagaimana jika perutku membesar sebelum waktunya, bagaimana aku bisa menutupinya?
Atau apakah sebaiknya kutanyakan saja kepada Mbak Monic, bagaimana caranya menggugurkan kandunganku? Mungkin ia punya kenalan yang kenalannya punya kenalan untuk membantuku.
“Mbak.”
Aku menghampiri Mbak Monic di ruang kerjanya. Ia mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan melirikku sekilas.
“Sorry, gue tadi telepon Reivan, Han, kasih tahu lu lagi di sini.”
“Kenapa? Mbak Mon punya nomor Reivan dari mana?”
Mbak Monic mengerutkan kening seakan-akan pertanyaanku itu disampaikan dalam bahasa asing yang sulit ia pahami.
“Memang Reivan enggak cerita?” tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala. “Waktu abang lu ngelarang dia ketemu sama elu di rumah sakit, kan gue yang terus-terusan jadi mata dan telinganya. Dia rutin tanya kabar elu, udah sembuh belum, udah makan belum …. Jangan-jangan lu kira itu gue yang nyediain makanan-makanan enak buat lu? Itu dari Reivan! Mana mau gue ngehambur-hamburin duit kayak gitu buat elu, ye, kan, mending buat si Bagas.”
Aku tercenung mendengar kabar itu. Reivan ternyata peduli kepadaku, ia memang selalu memedulikanku. Setelah semua perlakuanku kepadanya, setelah kuhabiskan semua uangnya untuk hal yang sia-sia, ia tetap mengkhawatirkanku. Aku benar-benar tidak pantas untuknya.
“Gue tadinya mau bikin artikel permintaan maaf buat dia.”
“Untuk apa?”
“Untuk berita sampah yang lu naikin.”
“Itu Alston yang naikin.”
Mbak Monic mengangkat bahu seolah-olah tidak peduli. “Dia nolak. Katanya enggak usah diperpanjang lagi. Bener-bener, deh, lu beruntung banget dapet Reivan. Makanya gue hepi pisan pas tau lu hamil ….”
Kata-kata Mbak Monic menggantung begitu saja di udara. Ia tampak ragu-ragu menuntaskan kalimat yang mungkin sebelumnya sudah tertata di benaknya.
Keheningan yang kemudian muncul di antara kami membuat hatiku hancur hingga tak berbentuk lagi. Sepertinya, tanpa harus kujelaskan apa atau bagaimana, Mbak Monic memahami situasi yang kualami.
“Reivan udah tau?”
Aku menggeleng sambil menahan serbuan air mata.
“Gila lu Hana.”
Kuharap Mbak Monic mengatakan itu dengan teriakan yang lantang alih-alih lewat bisikan, karena itu hanya membuat perasaanku jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Aku tahu aku gila. Aku memang gila, dan aku menyesal telah menjadi gila untuk orang yang tidak bisa kupegang kata-katanya.
Selama beberapa jam berikutnya, Mbak Monic terus menghindariku. Entah ia tidak mau terlibat atau justru sedang mencari solusi untuk masalah yang kualami, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku hanya duduk sendiri di kursi tamu sambil menunggu kehadiran Reivan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya