Ketika sosoknya akhirnya terlihat dari balik pintu kaca kantor SKB, aku merasa aman. Begitu saja, aku merasa keberadaan Reivan bukanlah ancaman, ia justru menawarkan keselamatan.
“Kenapa enggak bilang kalau mau li—”
Aku langsung merangsek ke pelukan Reivan. Kudekap tubuhnya seerat mungkin dan kutumpahkan air mataku di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kenapa?”
Kudengar Reivan bertanya, tapi ia tidak mencoba melepaskan pelukanku yang mengunci tubuhnya. Bukannya mendorong, Reivan malah balas memelukku dan membelai-belai punggungku.
“Kayaknya dia sakit, sebaiknya kamu bawa pulang aja,” kata Mbak Monic. “Apa pun yang terjadi, tolong kalian bahas baik-baik, ya.”
“Memangnya Ishana kenapa? Sakit? Sakit apa?”
Aku menggeleng. Tidak, aku tidak sakit, Reivan. Aku hanya malu, dan menyesal karena telah menyia-nyiakanmu. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel